OPINI | HUKUM | POLITIK
“Pengguna narkoba lebih sering dijatuhi hukuman rehabilitasi tanpa pidana, padahal sejatinya baik pengguna, pengedar, maupun bandar sama-sama berkontribusi dalam rantai kejahatan ini,”
Oleh : Selvi Safitri
PADA Rabu, 9 April 2025, penggrebekan sarang narkoba di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan, berubah jadi insiden yang mencoreng wibawa penegakan hukum. Bukannya berhasil meringkus Bandar narkoba, petugas justru diserang sekelompok orang tak dikenal (OTK ), dan dua sepeda motor milik anggota Satresnarkoba Polres Pelabuhan Belawan hangus dibakar menggunakan bensin.
Meski Sembilan personil dikerahkan dan disebut cukup untuk operasi, nyatanya serangan balik dari kelompok misterius itu membuat proses penangkapan gagal total. Yang tersisa hanyalah kerangka motor di atas mobil patrol saat konferensi pers, sementara pelaku utama masih melenggang bebas. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar : seberapa kuat sebenarnya jaringan narkoba di Belawan hingga mampu menghadang aparat dengan kekerasan ? ( detiksumut, 14-04-2025 ).
Hingga akhir 2023, Badan Narkotika Nasional ( BBN ) mencatat ada sekitar 3,3 juta orang yang terjerat penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Meski angka ini tampak lebih rendah dari tahun sebelumnya, bukan berarti peredaran narkoba mereda. Justru sebaliknya, fakta dilapangan menunjukkan bahwa narkoba masih menjadi ancaman besar yang terus menyasar berbagai lapisan masyarakat.
Masifnya produksi narkoba, seperti 1,3 juta butir ekstasi yang di siapkan untuk memenuhi permintaan pasar, menandakan bahwa bisnis haram ini masih sangat aktif dan kuat. Maka, pertanyaan penting pun muncul mengapa narkoba begitu sulit diberantas di negeri ini ?.
Pertama, karena penyebaran narkoba tak mengenal batas. Kalangan pengguna semakin luas : dari pelajar, ibu rumah tangga, figur publik, hingga aparat penegak hukum pun ikut terlibat. Walaupun jumlah pengguna tampak menurun, permintaan terhadap narkoba tetap tinggi. Terbukti, produksi narkoba dalam jumlah massif tetap terjadi. Prinsip ekonomi kapitalistik berlaku disini, semakin tinggi permintaan, maka produksi pun akan terus digenjot.
Kedua, karena sifat kejahatan narkoba yang sangat kompleks dan menghancurkan. Tidak seperti kejahatan konvensional, narkoba menyerang secara sistemik dan menargetkan generasi muda sebagai sasaran utama. Bahkan, jika dibandingkan, dampaknya jauh lebih berbahaya daripada tindak terorisme, karena bisa menghancurkan masa depan bangsa dalam diam.
Ketiga, karena adanya keterlibatan oknum dari institusi negara. Bukannya menjadi benteng terakhir, sebagian aparat justru terjerat dalam jaringan peredaran narkoba, baik sebagai pengguna, pengedar, bahkan bandar. Kasus seperti yang menjerat Irjen Teddy Minahasa menjadi bukti nyata betapa rapuhnya benteng hukum ketika integritas aparat dikorbankan.
Keempat, karena narkoba adalah bagian dari jaringan bisnis gelap internasional yang sangat menggiurkan. Bagi para bandar dan gembong narkoba, ini adalah lahan basah untuk meraup kekayaan dalam waktu singkat. Maka tak heran jika banyak pihak tergiur untuk terlibat, meski resikonya tinggi.
Kelima, karena akar filosofi kehidupan sekuler kapitalistik yang memisahkan nilai agama dari kehidupan. Dalam pandangan hidup ini, materi dan kenikmatan dunia dianggap sebagai tujuan utama. Akibatnya, banyak orang rela melakukan apa saja demi kekayaan, termasuk terjerumus dalam dunia narkoba, sekalipun harus merugikan orang lain atau melanggar hukum agama.
Keenam, karena lemah nya sistem hukum yang ada saat ini. Meski aparat kepolisian terus berupaya membongkar jaringan narkoba, sistem peradilan belum mampu memberikan efek jera. Pengguna narkoba lebih sering dijatuhi hukuman rehabilitasi tanpa pidana, padahal sejatinya baik pengguna, pengedar, maupun bandar sama-sama berkontribusi dalam rantai kejahatan ini. Islam memang membuka ruang rehabilitasi, namun tetap mengatur sanksi tegas bagi pelaku, demi menjaga masyarakat dari kerusakan yang lebih luas.
Terlebih lagi, penerapan hukuman mati kerap dipermasalahkan atas nama hak asasi manusia. Para aktivis HAM menilai hukuman mati melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, kenyataannya, meski hukuman mati masih berlaku, peredaran narkoba belum juga berhenti. Maka, bagaimana jadinya jika hukuman itu benar- benar dihapus ? bisa jadi, angka kejahatan akan semakin meroket tanpa kendali.
Jika ditelaah lebih dalam, sulit memberantas narkoba di negeri ini bukan hanya soal lemahnya penegakan hukum atau kurangnya jumlah aparat, tetapi juga karena akar persolan yang lebih dalam : tidak diterapkannya aturan Allah dalam sistem kehidupan. Ketika hukum buatan manusia dijadikan landasan, maka penanganan kejahatan pun hanya bersifat tambal sulam dan tidak menyentuh akar masalah. Akibatnya, peredaran narkoba tetap massif meski berbagai upaya telah dilakukan.
Islam, sebagai agama yang sempurna, telah memiliki seperangkat aturan yang komprehensif dalam menyelesaikan masalah narkoba. Dalam sistem pendidikan yang membentuk kepribadian bertakwa, sistem ekonomi yang menutup celah bisnis haram, hingga sistem politik yang menjamin kesejahteraan rakyat dan sistem sanksi yang tegas untuk memberi efek jera. Semua ini hanya akan terwujud jika syariat islam ditegakkan secara menyeluruh dalam bingkai negara.
Dengan demikian, solusi tuntas terhadap persoalan narkoba tidak cukup hanya dengan operasi dan razia sesekali. Diperlukan perubahan sistemik yang mendasar, yaitu dengan kembali kepada aturan islam secara kaffah ( menyeluruh ). Hanya dengan cara ini, masyarakat dapat hidup aman, bersih dari narkoba, dan senantiasa berada dalam naungan ketakwaan. Waallahu a’lam. (**)
*Penulis Adalah Mahasiswa Universitas Sumatera Utara