OPINI | POLITIK | HUKUM
“Para nelayan di daerah yang terdampak merasakan akses untuk mencari ikan masih sulit dibanding sebelumnya karena adanya pagar laut yang belum diselesaikan secara tuntas,”
Oleh : Yolanda Anjani, S.Kom
PADA awal Januari 2025 kemarin, publik telah dihebohkan dengan temuan pagar laut misterius sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten. Wujud pagar laut di Tangerang itu berupa bambu-bambu yang ditancapkan ke dalam dasar laut. Para pihak yang berwenang turun tangan dalam menangani kasus ini, mulai dari pemerintah daerah setempat hingga pemerintah pusat.
Namun ironisnya, sampai saat ini ternyata pagar laut tersebut masih saja diselidiki dan belum dicabut secara keseluruhan. Para nelayan di daerah yang terdampak merasakan akses untuk mencari ikan masih sulit dibanding sebelumnya karena adanya pagar laut yang belum diselesaikan secara tuntas.
Nelayan asal Kampung Paljaya, Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat mengeluhkan jalur trayek akses mencari nafkah mereka masih tertutup pagar laut. “Pembongkaran waktu itu cuma di bagian dekat daratan reklamasi saja. Itu juga cuma seremonial, setelah itu berhenti,” kata nelayan setempat, Muhammad Ramli (42).
Sebagaimana kita tahu, laut merupakan bagian dari kekayaan milik negara dan tidak dapat dimiliki secara pribadi, baik oleh perorangan maupun perusahaan sekalipun. Laut adalah bagian dari kekayaan negara yang penggunaannya diatur dalam kepentingan umum.
Mengutip dari penjelasan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, bahwa benda-benda yang diciptakan Allah di muka bumi ini tidak ada yang menjadi milik individu, milik negara, dan milik umum.
Sudah seharusnya pemanfaatan laut tidak diberikan kepada perorangan atau individu tertentu. Sebab laut merupakan kepemilikian umum, bukan kepemilikan individu atau negara sehingga negara pun tidak berhak memprivatisasi dan menasionalisasikannya.
Kezaliman yang terjadi ditengah-tengah rakyat saat ini terus berlanjut karena sumber hukum yang diterapkan berasal dari akal pikiran manusia. Dalam daulah islam, jika ada pihak-pihak yang berusaha untuk memprivatisasi laut, pemimpin negeri akan langsung menindaknya tanpa pandang bulu. Berbeda sekali dengan hari ini, pemerintah akan menimbang-nimbang hukuman terhadap segelintir orang yang memiliki kepentingan.
Apabila ada yang melanggar aturan yang telah ditetapkan dalam daulah islam, maka berlaku baginya uqubat (sanksi pidana). Semua sama dihadapan islam, tidak ada perbedaan antara pemimpin dengan rakyat, ataupun antara keturunan pejabat dengan orang biasa.
Di dalam kitab An-Nidzhamu al-Uqubat fii al-Islam karya Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, disebutkan bahwa Khilafah mampu mewujudkan sanksi tegas bagi pelaku tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam. Sistem sanksi dalam Islam mampu berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya. (muslimahnews.net)
Seorang pakar ekonomi, yaitu Nida Saadah, S.E., Ak., M.E.I. , pun menjelaskan polemik membangun pagar di atas laut bertentangan dengan fikih islam tentang pengaturan laut karena termasuk dalam al-milkiyatul ammah atau kepemilikan umum.
Beliau juga mengingatkan, “Kalaupun hari ini banyak yang bersilang pendapat, tetapi kalau ending-nya kembali ke regulasi yang tidak jelas dalam memosisikan persoalan tersebut, niscaya ini akan berlarut-larut,”
Maka jelaslah harapan satu-satunya dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi kini harus dilakukan secara jelas, transparan, dan adil. Hal ini tentunya hanya dengan berpegang kepada syariat Islam secara kaffah yang diterapkan dalam kehidupan bernegara.
Dalam islam juga sesungguhnya penguasa wajib menjalankan aturan islam saja, aturan yang sesuai dengan apa yang Allah perintahkan dan larang. Penguasa diharamkan menyentuh rakyatnya, memfasilitasi pihak lain untuk mengambil harta rakyat atau umum, bahkan menerima suap dengan alasan jabatan yang ia sandang. Wallahu’alam bishawab. (**)
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah