OPINI
“Sangat terasa tidak ada empati dengan kesulitan hidup rakyatnya. Bukannya mengayomi malah sebaliknya mengancam, menekan dan menakut-nakuti rakyatnya untuk membayar pajak yang manfaatnya pun belum tentu dinikmati rakyatnya,”
Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I.,
KEPUTUSAN pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang ditargetkan akan diberlakukan pada 1 Januari 2025 mendapat kritik dari berbagai kalangan yang kemungkinan besar ditunda kenaikannya.
Sebenarnya, kebijakan tersebut dinilai bisa semakin menekan daya beli masyarakat dan mengganggu roda ekonomi dunia usaha di tengah kondisi perekonomian yang sedang lesu. Alasan PPN naik itu untuk menjaga kesehatan APBN di saat prospek penerimaan seret akibat kondisi global yang tidak pasti.
Pasalnya, berbagai indikator menunjukkan, dengan ekonomi rakyat semakin tercekik dan daya beli masyarakat yang semakin lesu telah berdampak pada turunnya permintaan dan penjualan berbagai sektor usaha dalam beberapa waktu terakhir. Dapat kita saksikan sendiri, ekonomi global tidak dalam keadaan yang baik-baik saja. Daya beli masyarakat kita pun saat ini sangat tertekan. Di tengah kondisi seperti itu, apakah kenaikan PPN ini tidak akan semakin menurunkan daya beli masyarakat?
Semua kalangan, tak hanya pengusaha saja yang meminta pemerintah mengkaji lebih komprehensif lagi kebijakan tersebut. Harusnya melihat realita daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. Jika terlalu dipaksakan akan memengaruhi semuanya, dari harga produksi sampai harga barang dan jasa. Jika kenaikan harga diiringi daya beli konsumen yang lemah, tentu jadi tantangan bagi dunia usaha, karena beberapa sektor usaha, seperti industri tekstil sedang babak belur bersaing dengan banjir barang impor.
Sektor ritel dan perbelanjaan juga lesu. Walau pengunjung tetap banyak dan mal tetap ramai, tingkat penjualan turun. Masyarakat hanya datang berkunjung tanpa berbelanja.
Langkah pemerintah ini terasa tidak adil dan tidak proporsional, karena keputusan itu akan menambah beban belanja dan memperlebar defisit untuk sesuatu yang tidak penting, seperti penambahan nomenklatur kementerian/lembaga dan membentuk kabinet gemuk. Ketika ruang fiskal APBN semakin sempit, pemerintah mengalihkan beban tanggung jawab itu kepada rakyat melalui menaikkan tarif pajak.
Rakyat yang seharusnya didukung pemerintah, dengan kebijakan ini akan semakin ditekan untuk membiayai spending pemerintah yang tidak esensial. Ini jadi terasa adil dan tidak proporsional.
Seperti yang diungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen masih sesuai dengan amanat UU HPP. Kebijakan itu mesti tetap dijalankan untuk menjaga kesehatan APBN di tengah kondisi ekonomi global yang tak pasti. Apalagi, penerimaan pajak saat ini sedang seret-seretnya. Kemenkeu memperkirakan tahun ini setoran pajak tidak akan mencapai target awal. Di sisi lain, kebutuhan belanja diperkirakan akan membesar (Republika.co.id, 13/11/2024).
Meskipun tujuan utama meningkatkan pendapatan negara, langkah ini memunculkan pertanyaan besar, apakah kebijakan ini dapat menggerakkan ekonomi secara berkelanjutan, atau justru menjadi beban tambahan bagi masyarakat dan dunia usaha?
Hingga saat ini, PPN memang menjadi salah satu andalan pemerintah guna mengoptimalkan penerimaan pajak yang dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam negeri. Pajak PPN dibebankan kepada konsumen akhir, sementara produsen atau penjual bertindak sebagai pemungut pajak yang kemudian menyetorkannya.
Di sisi lain, keberhasilan kebijakan ini sangat tergantung pada komunikasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat. Transparansi dalam pengelolaan pajak menjadi kunci utama. Pemerintah perlu menjelaskan secara gamblang bagaimana tambahan penerimaan dari kenaikan tarif PPN akan digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Misalnya, masyarakat perlu melihat dana tersebut benar-benar dialokasikan untuk memperbaiki infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan.
Hal tersebut yang menyebabkan rakyat tidak setuju atau tidak menerima, jika kenaikan tarif pajak tidak dibarengi dengan manfaat yang mereka dapatkan, seperti pelayanan fasilitas publik seperti transportasi umum ataupun fasilitas Kesehatan. Jika pemerintah melakukan itu dengan baik, kepercayaan masyarakat akan meningkat, sehingga mengurangi resistensi terhadap kebijakan ini.
Jika dilihat, naiknya tarif PPN merupakan konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Di sisi lain negara hanya menjadi regulator dan fasilitator, yang melayani kepentingan para pemilik modal.
Pemerintah mengklaim, naiknya tarif PPN sebagai cara meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Faktanya belum tentu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang. Yang pasti kesengsaraan rakyat, terlebih di tengah situasi ekonomi yang sulit, menurunkan daya beli masyarakat, dan lainnya. Apalagi, ada problem korupsi dan pemerintah yang gemar berutang.
Di negara yang menganut ekonomi kapitalis pajak adalah sumber utama pendapatan negara, hingga rakyatnya dilarang tinggal di negaranya sendiri bila tidak mau bayar pajak. Seperti inikah sikap pelindung negara yang melindungi rakyat? Sangat terasa tidak ada empati dengan kesulitan hidup rakyatnya. Bukannya mengayomi malah sebaliknya mengancam, menekan dan menakut-nakuti rakyatnya untuk membayar pajak yang manfaatnya pun belum tentu dinikmati rakyatnya.
Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam yang memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi ra’iin, mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab. Sistem ekonomi Islam menetapkan berbagai sumber pemasukan negara. Pajak bukan sumber utama negara, tapi hanya alternatif terakhir ketika kas dalam Baitul Maal kosong sementara ada kewajiban atas rakyat yang harus ditunaikan. Bismillah, bersegeralah beralih ke ekonomi Islam agar kehidupan sejahtera dapat segera dirasakan. [**]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok