OPINI
“Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah, sehingga akan mencegah para pemimpin untuk bertindak sesuka hati, karena mereka selalu bersandar pada aturan Allah dan takut akan pertanggungjawabannya di akhirat kelak,”
Oleh : Siti Mawadah, S.T
INDONESIA sebagai salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi sudah pasti mengalami dinamika pemilihan umum (pemilu) serentak setiap 5 tahun sekali.
Misalnya saja seperti partisipasi masyarakat yang tinggi untuk mengikuti pemilu, tapi tidak dibarengi dengan jumlah logistik yang cukup memadai untuk memenuhi surat suara mereka. Ditambah dengan pemimpin yang terpilih adalah orang-orang yang memiliki modal besar dan kekuatan dinasti politik. Sehingga output pemimpin yang dihasilkan tidak memiliki kualitas yang bagus.
Namun, hal yang perlu dikritisi di sini, output pemimpin yang demikian bukan karena mekanisme pemilihannya, melainkan dari filosofi demokrasi itu sendiri.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang meletakkan kedaulatan ada di tangan rakyat. Artinya manusia berhak membuat peraturan (undang-undang).
Sistem ini juga memandang bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan. Rakyatlah yang membuat perundang-undangan, rakyat pula yang menggaji kepala negara untuk menjalakan undang-undang yang telah dibuatnya. Hal ini karena kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah kontrak kerja antara rakyat dengan kepala negara, yang digaji untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat oleh rakyat.
Maka aturan yang dibuat oleh manusia, jika diupayakan seadil dan sesolutif apapun untuk menyelesaikan persoalan masyarakat, tidak akan pernah bisa menandingi aturan Rabb Pencipta manusia.
Tidak heran jika pemilu di dalam sistem demokrasi ini menghasilkan pemimpin yang tidak berkualitas. Karena pemimpin yang terpilih disokong oleh orang-orang yang memiliki modal besar, yang memanfaatkan kepemimpinannya untuk membuat perundang-undangan sesuai dengan kehendak pemilik modal, bukan untuk kepentingan rakyat. Hal tersebut juga membuka peluang untuk terjadinya praktik korupsi, modal besar yang sudah jatuh tempo akhirnya mendorong mereka untuk melakukan cara kotor tersebut.
Bahkan sebenarnya tanpa ada campur tangan syahwat rakus para pemilik modal pun, pemilu dalam demokrasi tidak akan pernah mampu menyampaikan pada terpilihnya pemimpin yang Allah ridhai. Bagaimana Allah mau ridha? Jika pemimpin yang terpilih saja tidak diperuntukkan menjalankan aturan yang Allah ridhai. Pun jika manusia bersepakat untuk membuat aturan yang berselisih atau bahkan sama dengan dengan aturan Allah, tetap saja aturan itu datang dari kesepakatan manusia. Maka, sejatinya aturan yang datang dari manusia telah merampas peranan Allah SWT sebagai pembuat hukum.
Di dalam Islam secara mendasar telah mendudukan Asy-Syari’ (seruan dari Sang Pembuat Hukum) sebagai pemegang penuh kedaulatan. Artinya yang berhak untuk membuat hukum hanyalah Allah SWT, bukan manusia. Sekalipun kekuasaan ada di tangan manusia, tetap saja pelaksanaan aturan harus berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah, sehingga akan mencegah para pemimpin untuk bertindak sesuka hati, karena mereka selalu bersandar pada aturan Allah dan takut akan pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Pemimpin dalam Islam juga menyadari tanggung jawab kepemimpinan.
Mereka akan bersikap adil sehingga tidak akan ada satu makhluk pun yang terdzalimi. Tujuan kepemimpinan dalam Islam adalah menjadikan negeri ini bertakwa hingga berkah Allah SWT tercurah dari langit dan bumi.
Islam juga menetapkan batas kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari. Batas waktu tiga hari ini akan membatasi kampanye, sehingga tidak perlu kampanye akbar yang akan menghabiskan biaya besar. Teknis pemilihan akan dibuat sesederhana mungkin, sehingga dalam waktu tiga hari pemilu sudah selesai. Mekanisme pemilu di dalam Islam yang praktis, syar’i dan murah tidak akan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Maka output pemimpin yang berkualitas tidak akan lahir dari sistem yang bathil seperti demokrasi. Aturan-aturan yang dibuat atas dasar kesepakatan manusia telah merampas peranan Allah SWT sebagai pembuat hukum. Ridha Allah pun tidak akan hadir untuk pemimpin yang tidak menjalankan syari’at-Nya. Sehingga pemimpin yang berkualitas hanya lahir dari sistem yang menerapkan aturan-aturan yang Allah SWT ridhai, yaitu sistem Islam. Wallahu’alam. [*]
*Penulis Adalah Alumnus PNJ