OPINI
“Bukan tidak mungkin penetapan ini bermakna tidak akan ada lagi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang di alokasikan untuk honorer. Dengan kata lain menghapuskan lapangan pekerjaan sekaligus,”
Oleh : Sri Maulia Ningsih,S.Pd,
TENAGA honorer tengah harap-harap cemas. Hal ini menyusul rencana pemerintah untuk menghapuskan status tenaga honorer di 2023. Wacana penghapusan tenaga honorer ini disampaikan langsung Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo.
Menurut Tjahjo, sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan sebelumnya, status tenaga honorer di pemerintahan sudah tidak ada lagi pada 2 tahun mendatang.”Terkait tenaga honorer, melalui PP (peraturan pemerintah), diberikan kesempatan untuk diselesaikan sampai dengan 2023,” kata Tjahjo Kumolo.
Dia menjelaskan, status pegawai pemerintah di 2023 nanti hanya ada dua saja yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kedua status tersebut disebut dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). (Liputan6.com, 22/01/2022)
Rencana penghapusan tersebut pun langsung menuai respons tenaga honorer. Ketua Umum Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I), Titi Purwaningsih, menilai kebijakan penghapusan status tenaga honorer pada 2023 itu tidak manusiawi.
Lantaran, Pemerintah tidak memberikan solusi pasti bagaimana nasib tenaga honorer kategori 2 (K2) ke depannya.
“Kalau dihapus kemudian diselesaikan menjadi ASN semua tidak masalah. Namun apabila di hapus kemudian dibiarkan begitu saja itu yang jadi masalah. Karena itu namanya kejam dan enggak manusiawi,” kata Titi seperti dikutip liputan6.com.
Apalagi bagi honorer K2 yang sudah mengabdi sampai hari ini paling sedikit 18 tahun lamanya. Terutama honorer dari teknis administrasi dan teknis lainya yang notabene sampai saat ini sejak tahun 2013 belum ada rekrutmen lagi.
Padahal menurut Titi perlu diketahui honorer K2 itu memiliki payung hukum, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 48 juncto PP nomor 43 dan PP nomor 56 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil atau CPNS.
“Harusnya ini menjadi kewajiban dari pemerintah untuk menyelesaikan, bukan menghapuskan atau menghilangkan (tenaga honorer),” tegasnya. (Liputan6.com, 22/01/2022)
Solusi Atau ilusi?
Penghapusan Honorer sekilas terkesan indah untuk didengar bagaimana tidak, para honorer pasti merasa arah dari status mereka semakin menunjukan kepastiannya. Namun, patut untuk dicurigai rencana penghapusan honorer ini apakah memang betul-betul nasib honorer berujung kejelasan ataukah justru ada hal yang dikorbankan pemerintah?
Mengingat tumpang tindih pengurusan rakyat yang selama ini dirasakan cukup menjadi pengalaman pahit yang selalu berulang. Jika pun benar penghapusan honorer ini terlaksana, secara otomatis semua akan diangkat sebagai pegawai pemerintah namun justru akan terjadi kemungkinan banyak menghilangkan lapangan kerja yang selama ini didapat oleh honorer.
Bukan tidak mungkin penetapan ini bermakna tidak akan ada lagi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang di alokasikan untuk honorer. Dengan kata lain menghapuskan lapangan pekerjaan sekaligus.
Pemerintah dalam hal ini tidak lagi memikirkan untuk mengalokasikan dana APBD untuk gaji honorer bukankah ini sebuah kedzoliman? Lalu dimanakah nanti dana APBD akan dialokasikan? Patut untuk dipertanyakan arah kebijakan pemerintah yang selalu berujung pada ilusi dan merugikan rakyat.
Butuh Solusi Preventif
Persoalan Rakyat hari ini tidak lepas dengan kebijakan para penguasa yang selalu membuat rakyat menelan pil pahit akibat lemahnya pengaturan rakyat yang bersifat kapitalistik.
Dalam islam, pengaturan rakyat termasuk aparatur negara sangat jelas tak ada istilah honorer, dari sisi status rakyat yang merupakan aparatur negara dianggap sebagai aparatur negara bukan honorer. Adapun sistem penggajian dan alokasi dana untuk tiap-tiap rakyat yang menjadi aparatur negara sangat berbanding terbalik dengan yang terjadi dalam sistem kapitalisme.
Dalam Islam, gaji aparatur negara baik guru, tenaga kesehatan maupun yang bertugas dalam administratif digaji oleh negara yang diambil dari dana baitul mal melalui pos fa’i dan milkiyyah. Pun status mereka jelas sebagai seorang aparatur negara bukan honorer ataupun pegawai harian yang tak jelas status maupun penggajiannya.
Misalnya saja dalam masa kepemimpinan umar bin khattab beliau pernah menggaji pendidik dengan gaji 15 dinar yang jika dikonversikan dalam mata uang rupiah berkisar 51 juta rupiah.
Di masa Abasiyyah beliau pernah menggaji beserta tunjangan untuk Zujaj pada setiap bulan beliau dapat gaji 200 dinar sementara ibnu duraid digaji sekitar 40 dinar perbulan oleh al muqtadir pun jika dikonfversikan kerupiah maka tunjangan mereka rata-rata ratusan juta.
Sehingga para aparatur negara tidak lagi khawatir ataupun mencari-cari pekerjaan lain untuk menunjang hidup mereka, mereka hanya fokus pada bidang masing-masing secara profesional. Hal itu hanya terjadi dalam sistem islam yang tidak hanya peduli pada status rakyatnya tetapi juga peduli dengan kesejahteraannya.
Bahkan rakyat yang hidup dalam sistem Islam tidak susah mencari lapangan pekerjaan karena dalam sistem Islam, kebijakan negara selalu terfokus pada terlaksananya aturan-aturan kehidupan sesuai dengan Al-qur’an As sunnah. Maka, jika ada sistem yang lebih mementingkan urusan rakyatnya, tidakkah kita rindu untuk menerapkannya? Allahua’lam bishowab. [*RIN/GF]
*Penulis Adalah Anggota Muslimah Media Konawe