OPINI
“Hasil penelitian Never Okay menunjukkan pengaruh pelecehan seksual di tempat kerja membuat 50.89% responden mengaku harus menghindari situasi kerja tertentu, 35.48% merasa malu dan tidak percaya diri, 29.35% mengaku ingin mengundurkan diri,”
Oleh : Daimah Fauziah Ningrum
HASIL Survei kuantitatif yang dilakukan oleh Never Okay, sebuah inisiatif yang vokal menentang pelecehan seksual di tempat kerja sungguh mengerikan, 94 persen dari 1.240 responden mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Sekitar 76% pernah mengalami pelecehan lisan; 42% mengalami pelecehan isyarat; 26% mengalami pelecehan tertulis/gambar; 13% lingkungan kerja yang tidak bersahabat; 7% ditawari imbalan untuk melakukan sesuatu; 1% penyerangan seksual dan 2% lainnya.
Survei yang dilakukan antara 19 November hingga 9 Desember 2018 secara online, membuktikan pelecehan seksual di tempat kerja bukan barang langka. Alvin Nicola, pendiri Never Okay mengatakan hasil survei ini menjadi data penting karena Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN yang tidak punya aturan tentang perlindungan pekerja dari pelecehan seksual di tempat kerja.
Sungguh kasihan para perempuan pekerja ini. Pelecehan itu jelas membuat mereka merasa tidak nyaman dan juga tidak aman. Hasil penelitian Never Okay menunjukkan pengaruh pelecehan seksual di tempat kerja membuat 50.89% responden mengaku harus menghindari situasi kerja tertentu, 35.48% merasa malu dan tidak percaya diri, 29.35% mengaku ingin mengundurkan diri.
Pelecehan itu bahkan merendahkan kedudukan mereka sebagai manusia dan secara tidak langsung menunjukkan sikap merendahkan perempuan. Realita ini menjadi sasaran empuk bagi feminis untuk sekali lagi menyalahkan relasi perempuan versus laki-laki. Dan kian memberi bukti tentang superioritas laki-laki, yang menyebabkan relasi yang tak seimbang karena dominasinya atas perempuan.
Sayangnya, fakta tersebut belum populer di kalangan pengawas ketenagakerjaan sebagaimana yang dikatakan oleh Tresye Widiastuti Paidi dari Direktorat Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak Kementerian Ketenagakerjaan. Lebih parah lagi, ternyata pelapor alias korban pelecehan seksual justru rentan dijerat pasal karet, seperti pasal pencemaran nama baik, UU ITE atau pornografi. Hal itu akhirnya membuat kebanyakan korban terpaksa diam.
Fakta tersebut sungguh menyesakkan dada. Para perempuan pekerja dibiarkan terkungkung dengan kejahatan demi penghematan anggaran! Perusahaan dapat dikatakan tidak memiliki kepedulian pada nasib mereka, sementara mereka terus dieksploitasi, tak hanya tenaganya demi keuntungan perusahaan, namun juga sisi feminitasnya yang berujung pada pelecehan seksual. Sungguh tidak berperikemanusiaan.
Begitu juga, sepanjang 2017, seks bebas di kalangan remaja Indonesia juga sangat mengkhawatirkan dan masih menjadi masalah remaja di Indonesia. Menurut Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW), Neta S Pane, masalah seks bebas ini kian mengkhawatirkan karena makin banyak jumlah bayi yang baru dilahirkan dibuang di jalanan. Sebuah studi terbaru bahkan menemukan masih ada anak muda yang melakukan hubungan seks penetrasi tanpa menggunakan kondom.
Penelitian yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser Indonesia lewat mereka alat kontrasepsi Durex terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia menemukan, 33 persen remaja pernah melakukan hubungan seks penetrasi. Dari hasil tersebut, 58 persennya melakukan penetrasi di usia 18 sampai 20 tahun.
Selain itu, para peserta survei ini adalah mereka yang belum menikah. “Ini mencengangkan. Jadi kalau mengatakan bahwa edukasi seksual itu masih tabu, saya kira ini perlu menjadi suatu data yang perlu dipertimbangkan,” kata dr. Helena Rahayu Wonoadi, Direktur CSR Reckitt Benckiser Indonesia dalam pemaparannya di Jakarta, ditulis Jumat (19/7/2019).
Dari fakta di atas, bagaimana peran aktif kita sebagai mahasiswa terkait masalah tersebut? Dalam dunia pendidikan sosok mahasiswa menjadi peran yang paling penting dalam peradaban ilmu dan gaya hidup. Sosok cerdas, dinamis dan ber-ide kreatif dapat menjadi arahan positif bagi semua kalangan.
Sebagai mahasiswa, tentu memiliki beban dan tanggung jawab yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa putih abu-abu. Di samping mahasiswa sebagai pelajar, mahasiswa dituntut senantiasa menuangkan ide kreatifnya, berpikir kritis dalam menyikapi fakta di masyarakat dan menjadi agen perubah (agent of change) untuk mengantarkan masyarakat pada kondisi yang lebih baik.
Mahasiswa memiliki potensi idealisme tinggi dalam menyikapi permasalahan; menyukai tantangan, berjiwa pemberontak dan pro pada perubahan yang membawa kebaikan dan kebenaran. Idealisme tersebut yang akan mengarahkannya dalam membentuk jati diri, mengambil sikap dan menuangkan aksi yang akan melahirkan sebuah gerakan mahasiswa.
Mahasiswa dididik untuk peduli dengan lingkungannya. Mereka dibekali idealisme yang tinggi. Tak mengherankan mereka berani turun ke jalan demi memperjuangkan sebuah kebenaran.
Sosok mahasiswa ideal adalah penuntut ilmu sejati yang selalu bersemangat dan antusias terhadap ilmu, menyelami bakat diri dan mendalami bidang yang sesuai dengan bakatnya tersebut, serta berusaha untuk menciptakan inovasi baru dalam rangka mengamalkan ilmu yang dimilikinya.
Peran aktif mahasiswa sebagai agen social control, yang dapat memberikan dampak positif di lingkungan kampus maupun disaat berinteraksi dengan masyarakat luas. Dengan langkah awal yaitu mengajak dan memberikan edukasi kepada lingkungan sekitar dan masyarakat umum dari penyebab maraknya kekerasan seksual dan seks bebas di kalangan remaja maupun masyarakat umum.
Sebagai sebuah solusi, menurut saya problem yang dihadapi generasi muda hari ini utamanya para pemuda Muslim, mereka harus tersadarkan untuk kembali kepada agamanya (Islam). Menjadikan Islam sebagai jalan hidup dan Al-Qur’an serta Hadits Rasulullah sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan seharinya.
Jauhnya generasi hari ini dari agamanya menjadi sumber hancurnya moral dan akhlak mereka. Sebab, mereka tidak lagi ditopang dengan prinsip-prinsip yang kuat yang dibangun di atas landasan Al-Qur’an dan Sunnah.
Kehilangan prinsip dalam hidup, maka setiap generasi akan kehilangan ruh, semangat dan cita-cita dalam hidupnya. Kehancuran demi kehancuran akan semakin melanda pada dirinya. Menjadi tanggung jawab semua pihak untuk menyadarkan generasi hari ini agar kembali kepada agamanya.
Membuat mereka bangga sebagai generasi Muslim dan mereka terang dalam melihat sejarah kejayaan dan kegemilangan generasi terdahulu. Sejarah telah mencatat generasi terdahulu dengan tinta emas akan kehebatan dan kejayaan mereka.
Tak akan baik generasi hari ini sebelum mereka mengikuti apa yang telah dilakukan oleh generasi terdahulu. Imam Malik bin Anas mengatakan, “Tidak ada yang dapat memperbaiki generasi akhir umat ini, kecuali apa yang telah memperbaiki generasi awalnya.”
Sejak 1.400 tahun lalu, Islam datang menyelamatkan peradaban manusia, melindungi hak-hak kemanusiaan, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Islamlah yang terdepan menyelamatkan perempuan dari ketertindasan.
Kita tentu masih ingat bagaimana peradaban kuno Yunani, Roma, India, Cina, Persia, bahkan Arab jahiliah sangat menindas perempuan dan mengeksploitasi seksualitas perempuan. Islam justru hadir membawa perubahan dan harapan baru bagi kehidupan perempuan.
Islam mengatasi kejahatan seksual dan kekerasan seksual sekaligus. Zina dan eljibiti menurut Islam adalah bentuk kejahatan seksual, baik dilakukan dengan kekerasan ataupun tidak.
Maka, sebenarnya spirit dari RUU-PKS ini tidak membawa solusi bagi permasalahan (yang notabene menurut Komnas Perempuan diperuntukkan untuk kepentingan perempuan dan anak). Justru yang akan terjadi adalah keresahan, kehancuran keluarga, bahkan generasi. Karena liberalisasi akan semakin merajalela jika RUU ini disahkan menjadi undang-undang.
Islam pun memberikan solusi bagi kasus kejahatan seksual, baik untuk penanggulangannya (kuratif) maupun pencegahannya (preventif) dengan tiga mekanisme.
Pertama, menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun privat.
Dasarnya adalah akidah Islam. Sistem Islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Sebab, kejahatan seksual bisa dipicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’).
Islam membatasi interaksi laki-laki dan perempuan kecuali di sektor yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar) dan kesehatan (rumah sakit, klinik dan lainnya).
Kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa amar makruf nahi mungkar. Saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentu semuanya dilakukan dengan cara yang baik.
Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zinâ, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).
Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada si pelaku, sekaligus menjadi penghapus dosa (jawabir) yang telah dilakukannya ketika sampai waktunya di yaumul hisab nanti. Ketiga mekanisme Islam yang apik ini akan terlaksana dengan baik jika ada institusi yang melaksanakan syariat Islam secara kaffah, bukan institusi sekuler liberal. [*]
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Gunadarma