Perbaikan Pelabuhan Gabion Menuai Utang

0
10
Diah Puja Kusuma/Foto : Net

Oleh : Diah Puja Kusuma

PELABUHAN Perikanan Samudera (PPS) Belawan di Jl. Gabion, Kel. Bagan Deli, Kec. Medan Belawan mendapat kunjungan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) yaitu Sakti Wahyu Trenggono.

Beliau mengungkapkan Pelabuhan Perikanan di Belawan, Sumatera Utara terkategori pelabuhan tejorok dan kumuh. (realitasonline.id, 27/01/2023)

Tentu kondisi ini sangat memprihatinkan, bahkan pelabuhan ini terkenal dengan kebauan dan kejorokkannya dimasyarakat. Padahal faktanya pelabuhan tersebut menjadi salah satu tempat mata pencaharian warga sekitar dan juga tempat untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Dengan begitu apa yang harus kita lakukan untuk menyelesaikan permasalahan ini?

Memang sudah menjadi rahasia umum kalau Indonesia menjadi salah satu negara yang kebersihannya masih menjadi hal yang sulit untuk diterapkan pada lingkungan maupun masyarakatnya. Maka tidak heran kalau Mentri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu mengatakan pelabuhan ini termasuk pelabuhan terjorok dan terbau di Indonesia.

Namun, kunjungan dan perhatian yang diberikan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan patut untuk diapresiasi. Sebab beliau telah menunjukkan rasa kepeduliannya terhadap masyarakat di daerah tersebut. Ditengah banyaknya para petinggi pemerintah yang enggan dan abai terhadap kondisi ini sehingga tidak memberikan sarana dan prasarana untuk menunjang aktifitas masyarakat tersebut.

Tetapi sayangnya, solusi yang diberikan Kementrian Kelautan dan Perikanan untuk perbaikan Pelabuhan Gabion ini bukan berasal dari dana yang dimiliki negara saja namun juga dengan menggunakan dana pinjaman dari negara Perancis yaitu dari hasil utang pada luar negeri.

Inilah bentuk sistem ekonomi neoliberal yang menjadi platform tata kelola perekonomian bangsa dan memosisikan utang sebagai solusi tunggal dalam menutup defisitnya anggaran. Para ekonom yang menjadi stakeholder juga terus merekomendasikan penambahan utang demi tercapainya pertumbuhan ekonomi. Sehingga jadilah APBN negara ini bertumpu pada utang. Padahal, ketergantungan utang adalah jebakan yang dibuat negara-negara pemberi utang terhadap negara yang berutang.

Dengan begitu, negara makmur yang menggelontorkan dananya akan mampu menyetir kebijakan dalam negeri negara berkembang tersebut.

Sungguh hal yang wajar dalam sistem kapitalisme sekuler bahwa asas setiap manusia dalam berbuat adalah materi atau keuntungan. Sehingga para pemberi utang rela meminjamkan dana yang besar dengan tujuan untuk mencapai keuntungan yang besar pula dari pinjaman tersebut kepada Indonesia.

Tidak ada kawan atau lawan semua dilihat dari kacamata keuntungan, tidak ada yang gratis dan ada harga yang harus dibayar. Bahkan banyak negara berkembang yang terbukti collapse karena tidak mampu membayar utang dengan bunga yang berlipat. Sumber daya alam telah habis dijual. Itulah akibat dari ketidakmampuan negara dalam membayar utang pada luar negeri.

Hal demikian tentu tidak akan kita biarkan terjadi pada Indonesia. Jika ini terus dibiarkan, maka utang Indonesia akan semakin menumpuk. Serta berakibat pada kehidupan masyarakat yang semakin sulit dan susah.

Belum lagi tunggakan pajak yang harus dibayarkan masyarakat tiap tahunnya dengan biaya mahal, selanjutnya infrastuktur dan layanan publik yang harusnya gratis menjadi berbayar dengan dalih untuk membantu negara dalam melunasi utang. Maka dari itu yang harus kita lakukan untuk menyelesaikan permasalahan utang adalah dengan kembali pada aturan Islam.

Sebab Islam memiliki seperangkat mekanisme bagaimana negara semestinya dikelola dan bagaimana negara membangun sistem keuangan yang sehat dan syar’i. Tidak akan ada keberkahan bila ekonomi negara ditopang dengan sistem riba. Negara yang hidup dengan utang hanya akan melahirkan ilusi kesejahteraan.

Seakan-akan masih memiliki banyak pendapatan, padahal ngos-ngosan cari pendapatan. Dalam Islam, baitulmal adalah konsep baku bagaimana pengelolaan ekonomi negara yang tepat dan benar. Baitulmal terdiri dari dua bagian pokok. Bagian pertama, berkaitan dengan harta yang masuk ke dalam baitulmal, dan seluruh jenis harta yang menjadi sumber pemasukannya. Bagian kedua, berkaitan dengan harta yang dibelanjakan dan seluruh jenis harta yang harus dibelanjakan.

Sudah saatnya kita kembali pada sistem ekonomi Islam yang terbukti menyejahterakan. Bukan hanya dari ekonominya, keberadaan institusi pemerintahan Islam juga menjadi hal penting yang harus diwujudkan. Tanpa adanya sistem pemerintahan Islam (Khilafah), keunggulan syariat tidak akan bisa dirasakan secara utuh.

Artinya, menjalankan syariat Islam bukan sekadar atau sebagiannya saja. Tetapi harus secara kaffah atau menyeluruh. Termasuk dalam pengaturan dan pengelolaan sumber daya alam dalam Islam tidak akan diserahkan kepada swasta, apalagi asing. Sumber daya alam mutlak dikelola oleh negara secara mandiri agar masyarakat merasakan manfaat dari sumber daya alam hingga menghantarkan rakyat pada kemajuan menuju kesejahteraan dengan penerapan syariah Islam kaffah.  Wallahu’alam bisshowwab. (*)