Perempuan Berdaya dalam Tantangan Sistemik

0
8
Jasmine Fahira Adelia Fasha/Foto : Ist.

OPINI

“Ibu dipaksa untuk bekerja di luar rumah demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sementara pada saat yang sama mereka tetap dibebani oleh tanggung jawab rumah tangga yang tidak kunjung selesai,”

Oleh : Jasmine Fahira Adelia Fasha,

SISTEM kapitalisme yang mendominasi ekonomi global saat ini seringkali menciptakan kesenjangan antara potensi ibu sebagai individu dan realitas yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Kapitalisme memandang ibu sebagai pekerja ganda, yang tidak hanya bertanggung jawab atas urusan domestik, tetapi juga dituntut berperan dalam dunia kerja dengan standar yang tidak seimbang. Dalam pandangan ini, perempuan dianggap sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk keuntungan ekonomi, tanpa memperhatikan kesejahteraan fisik, psikologis, dan sosial mereka.

Seperti yang dicatat oleh banyak kritikus sistem kapitalisme, peran ibu sering kali dimanipulasi untuk mendukung kelangsungan ekonomi, namun dengan mengabaikan hak-hak dasar mereka. Ibu dipaksa untuk bekerja di luar rumah demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sementara pada saat yang sama mereka tetap dibebani oleh tanggung jawab rumah tangga yang tidak kunjung selesai. Tuntutan ini sering berujung pada kelelahan fisik dan mental yang serius, serta kesulitan dalam mencapai keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.

Jika dilihat, setiap 22 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai hari ibu, dan tahun ini mengusung tema ‘Perempuan Menyapa, Perempuan Berdaya Menuju Indonesia Emas 2045’ yang mengarah pada kesadaran akan pentingnya peran ibu dalam pendidikan dan kesehatan generasi mendatang. Indonesia Emas 2045, yang merujuk pada cita-cita Indonesia sebagai negara maju pada usia 100 tahun kemerdekaannya.

Agar semua itu terwujud, memerlukan kontribusi signifikan dari seluruh lapisan masyarakat. Di sinilah peran ibu sangat krusial. Ibu bukan hanya pendidik pertama bagi anak-anak mereka, tetapi juga penjaga utama kesehatan keluarga. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut, ibu harus diberikan akses yang lebih besar terhadap pendidikan dan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Dalam banyak kasus, ibu sering terhambat oleh sistem yang tidak berpihak pada mereka, seperti kurangnya fasilitas kesehatan yang terjangkau, rendahnya upah yang mereka terima di pasar kerja, atau minimnya dukungan terhadap pendidikan anak-anak mereka. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan tidak hanya berhenti pada pernyataan slogan, tetapi harus diterjemahkan dalam bentuk kebijakan yang nyata dan adil, baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, maupun sosial-ekonomi.

Selain itu, peran ibu juga sangat penting dalam menjaga kestabilan sosial dan emosional keluarga. Ibu adalah madrasah pertama anak-anak. Namun, banyak ibu yang terkadang harus menghadapi realitas keras dari sistem yang mengabaikan kebutuhan emosional dan psikologis mereka.

Dalam sistem kapitalis, kebebasan individu sering terkurung oleh tuntutan materi, maka banyak ibu yang merasa terisolasi dan tidak dihargai. Keberadaan ibu dalam keluarga harus lebih dari sekadar pengelola rumah tangga. Mereka harus dihargai dan diberikan ruang untuk berkembang, baik sebagai individu, ibu, maupun anggota masyarakat yang berdaya.

Oleh karenanya, hari Ibu bukan hanya sekadar seremonial tahunan. Harusnya pengingat bagi kita semua bahwa ibu juga memiliki peran besar dalam membentuk akidah anak. Pemberdayaan perempuan harus melampaui wacana dan menjelma menjadi kebijakan yang mampu mengatasi masalah sistemik yang mengekang peran mereka.

Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, kita harus memulai dengan memberdayakan ibu—memberikan mereka akses yang setara terhadap pendidikan, pekerjaan yang layak, pelayanan kesehatan yang berkualitas, serta dukungan sosial yang tidak terbatas pada kata-kata, tetapi diwujudkan dalam tindakan yang nyata.

Jika kita benar-benar menghargai peran ibu dalam membangun negara ini, maka kita harus mendobrak sistem yang mengekang kebebasan mereka. Hanya dengan itu, ibu dapat benar-benar berdaya, dan Indonesia dapat mewujudkan potensi terbaiknya menuju masa depan yang lebih cerah. [**]

*Penulis Adalah Freelancer di Depok