OPINI
“Belum lagi, bila diamati lebih rinci, akan didapati bahwa pelayanan yang diberikan pemerintah pada sedikit lansia itupun berkualitas amat minim. Sudah menjadi rahasia umum seperti apa rendahnya mutu pelayanan pemerintah yang diberikan secara gratis pada rakyatnya,”
Oleh : Eva Arlini, SE
SUDAH menjadi sunnatullah atau hukum alam bahwa manusia akan merasakan tua, kecuali bagi mereka yang mati muda. Masa tua adalah masa dimana fisik seseorang mulai lemah dan semakin lemah hingga akhir hidupnya.
Karena itu wajar jika orang lanjut usia (lansia) sudah tak mampu lagi memenuhi kebutuhannya sendiri. Sewajarnya pula lansia membutuhkan kehadiran negara dalam menjamin kesejahteraan mereka.
Namun sayangnya negara demokrasi sekuler hari ini tak sepeduli itu kepada para lansia. Masih banyak lansia yang harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri meski mereka dalam keadaan lemah. Seperti Kakek Muchtar di Medan.
Tertatih – tatih kakek berusia 80 tahun itu menyusuri jalan sehari-harinya, sambil mendorong gerobak jualan martabak telurnya. (https://medan.tribunnews.com/2020/06/22/)
Bila pun ada perhatian yang diberikan pemerintah kepada lansia, lebih terasa sekedar sebagai seremonial. Seperti yang diperlihatkan pada peringatan Hari Lansia Nasional 29 Mei lalu. Pemerintah daerah (pemda) memperingati Hari Lansia dengan mengadakan sebuah acara yang melibatkan sejumlah lansia.
Acara tersebut diisi dengan aktivitas senam bersama, berbagai perlombaan, penyerahan paket bantuan bagi lansa serta seminar dan diskusi.
Agenda semacam itu merupakan amanah dari undang – undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia. Dari undang – undang itu dibentuk Komisi Nasional Perlindungan Penduduk Lanjut Usia berdasarkan Keppres Nomor 52 tahun 2004. Tugas Komnas Lansia mengkoordinir usaha peningkatan kesejahteraan sosial orang lanjut usia di Indonesia.
Inilah yang penulis sebut sebagai perhatian sebatas seremonial. Karena perhatian pemerintah pada lansia diberikan hanya satu hari yakni pada hari yang ditetapkan sebagai peringatan hari lansia. Itupun hanya dirasakan oleh sejumlah lansia saja. Masih banyak lansia yang telantar.
Misalnya untuk daerah Jawa Barat, berdasarkan asumsi Kementrian Sosial, hingga 2020 ada sekitar 724.546 jiwa lansia yang terlantar. Dari jumlah tersebut, ada sekitar 31 persen yang mendapat pelayanan oleh panti milik pemerintah, swasta dan mendapat program keluarga harapan. (https://www.republika.co.id/27/04/2021).
Belum lagi, bila diamati lebih rinci, akan didapati bahwa pelayanan yang diberikan pemerintah pada sedikit lansia itupun berkualitas amat minim. Sudah menjadi rahasia umum seperti apa rendahnya mutu pelayanan pemerintah yang diberikan secara gratis pada rakyatnya. Jadi bila pun ada bentuk lain dari perhatian pemerintah pada lansia selain seremoni di peringatan hari lansia, itu sangatlah tak memadai.
Masih ditambah masalah kategoriasi lansia, dimana berdasarkan UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, bahwa Lansia adalah orang yang berusia 60 tahun ke atas. Padahal banyak orang yang belum mencapai usia 60 tahun, semisal 59 tahun, namun telah mengalami kelemahan karena berbagai faktor. Artinya berdasarkan undang – undang mereka tak berhak diperhatikan.
Memang ada benarnya yang dikatakan oleh Menteri Sosial Tri Rismaharini, bahwa lansia yang tetap beraktivitas di masa tuanya bisa lebih gembira dan menambah imun. (https://bandung.kompas.com/read/2022/05/29).
Sehingga bukan berarti para lansia harus duduk diam di rumah karena dianggap telah lemah. Namun di usia senja seharusnya para lansia tak lagi diharapkan produktif dalam hal ekonomi. Pada umumnya, secara alamiah fisik lansia pasti mengalami kelemahan. Bila mereka masih mampu berkegiatan, mereka bisa aktif di kegiatan pengajian, berdakwah dan aktivitas bernilai ibadah lainnya. Pihak pemerintah yang berharap rakyatnya bisa tetap mandiri secara ekonomi meski berusia tua hanya menunjukkan upaya lepas tangan terhadap tanggung jawab pemerintahan.
Inilah fakta kepengurusan pemerintahan demokrasi sekuler pada rakyatnya. Berbeda dengan cara sistem Islam dalam mengurus manusia. Rasulullah saw bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Mekanisme pemerintahan Islam dalam menjamin kesejahteraan rakyat dijelaskan dalam Kitab Nizhamul Iqtishadi karya Syekh Taqiyuddin An Nabhani. Disebutkan bahwa politik ekonomi Islam menjamin tercapainya seluruh kebutuhan primer rakyatnya mencakup sandang, pangan dan papan. Caranya dengan mewajibkan setiap laki-laki yang mampu untuk bekerja agar dia mampu memenuhi kebutuhan primernya sendiri, berikut kebutuhan orang – orang yang nafkahnya menjadi tanggungannya. Bila orang itu sudah tak mampu lagi bekerja, maka Islam mewajibkan kepada anak – anaknya serta ahli warisnya untuk bekerja.
Disinilah penguasa dalam Islam berperan memastikan para lansia tidak ditelantarkan oleh anak – anak mereka. Akan ada sanksi tegas bagi mereka yang sengaja melanggar syariah. Bukan seperti yang marak terjadi saat ini, anak menelantarkan orangtua dan pemerintah tak mampu berbuat apa – apa, selain hanya sebatas menasihati sang anak saja.
Kalau ada lansia yang sudah tidak punya sanak keluarga, maka nafkah secara langsung ditanggung oleh negara. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah saw saat menjadi pemimpin Negara Islam Madina. Beliau menafkahi seorang tua yahudi, bahkan menyuapinya setiap hari dengan cara yang lembut hingga akhirnya yahudi itu masuk Islam. Wallahu a’lam bishawab. (*)