OPINI | POLITIK
“Anak-anak yang paling rentan menghadapi risiko lebih tinggi untuk di-bully biasanya berasal dari masyarakat yang terpinggirkan, dari keluarga berpenghasilan rendah, dengan penampilan atau ukuran tubuh yang berbeda, penyandang disabilitas, atau anak-anak migran dan pengungsi,”
Oleh : Aktif Suhartini, S.Pd.I.,
SANGAT memilukan melihat beberapa anak mengalami rasa sakit fisik dan emosional dari bullying secara langsung atau cyberbullying (yang diterima saat online). Orang tua pun tidak yakin bagaimana cara memulai melindungi anak-anak mereka.
Bahkan, beberapa orang tua mungkin tidak tahu anak-anaknya itu korban, saksi, atau bahkan pelaku dari perbuatan berbahaya ini. Sebagai orang tua sudah seharusnya selalu mengamati keadaan emosi anak, karena beberapa anak mungkin tidak mengungkapkan kekhawatiran mereka secara lisan.
Tanda-tanda yang harus diwaspadai di antaranya fisik seperti memar yang tidak dapat dijelaskan, goresan, patah tulang dan luka dalam penyembuhan, takut pergi ke sekolah atau mengikuti acara sekolah, menjadi cemas, gelisah, atau sangat waspada yang berlebihan dari perilaku anak.
Awal mulanya memiliki beberapa teman di sekolah atau di luar sekolah tiba-tiba kehilangan teman secara tiba-tiba atau menghindari situasi sosial, pakaian, alat elektronik, atau barang-barang pribadi lainnya hilang atau hancur.
Tak hanya itu, anak seringkali meminta uang untuk alasan yang mungkin kurang jelas atau mencurigakan, prestasi yang rendah, ketidakhadiran, bolos, atau menelepon dari sekolah meminta pulang, mencoba terus menerus ingin dekat orang dewasa, tidak tidur nyenyak dan mungkin mengalami mimpi buruk, mengeluh sakit kepala, sakit perut atau penyakit fisik lainnya.
Ditambah pula sering tertekan setelah menghabiskan waktu online atau memainkan gadged (tanpa penjelasan yang masuk akal), menjadi sangat rahasia, terutama dalam hal aktivitas online, menjadi agresif atau memiliki ledakan kemarahan yang tiba-tiba.
Biasanya bullying dapat diidentifikasi melalui tiga karakteristik seperti disengaja (untuk menyakiti), terjadi secara berulang-ulang, dan ada perbedaan kekuasaan. Pelaku bullying memang bermaksud menyebabkan rasa sakit pada korbannya, baik fisik atau perilaku yang menyakitkan, dan melakukannya berulang kali.
Anak laki-laki lebih mungkin mengalami bullying fisik, sedangkan anak perempuan lebih mungkin mengalami bullying secara psikologis, walaupun jenis keduanya tentu cenderung saling berhubungan.
Bullying adalah pola perilaku, bukan insiden yang terjadi sekali-kali. Anak-anak yang melakukannya biasanya berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, seperti anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, atau dianggap populer sehingga dapat menyalahgunakan posisinya.
Namun, anak-anak yang paling rentan menghadapi risiko lebih tinggi untuk di-bully biasanya berasal dari masyarakat yang terpinggirkan, dari keluarga berpenghasilan rendah, dengan penampilan atau ukuran tubuh yang berbeda, penyandang disabilitas, atau anak-anak migran dan pengungsi.
Maraknya kasus bullying yang terjadi di kalangan pelajar bukanlah fenomena yang baru dan sudah banyak tercatat kasus tersebut, di kehidupan anak usia sekolah kerap terjadi kasus bullying karena tidak terciptanya sikap mawadah warahmah di antara lingkungan para pelajar.
Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek, Rusprita Putri Utami dalam keterangan di Jakarta, Jumat (20/10/2023), kasus perundungan maupun kekerasan lainnya yang terjadi di sekolah sudah sangat memprihatinkan. Berdasarkan hasil Asesmen Nasional pada 2022, terdapat 36,31 persen atau satu dari tiga peserta didik (siswa) di Indonesia berpotensi mengalami bullying atau perundungan.
Yang menjadi pertanyaan mengapa bullying masih saja terus terjadi, padahal sudah ada banyak aturan yang ditetapkan negara? Tentu ada banyak faktor internal dan eksternal yang sangat kompleks, sehingga terjadi perbuatan keji tersebut.
Salah satunya itu kurikulum pendidikan yang menyebabkan depresi pelajar, gaya hidup modern yang berkiblat kepada Barat yang notabenenya sangat bebas juga ketahanan mental yang sangat lemah. Maka, tidak cukup dengan gerakan pelopor anti bullying saja.
Perlu adanya sinergi antara pendidikan agama dari orang tua di rumah, lingkungan sekolah yang kondusif dengan suasana islami dan negara yang memberikan sanksi agar jera bagi pelaku bullying.
Semua itu akan terwujud jika aturan yang diterapkannya aturan Islam dalam naungan Khilafah Islam. Pasalnya, Khilafah Islam memberikan perlindungan atas kehidupan aman, nyaman dan tenteram pada manusia karena fitrahnya nyawa manusia sangat berharga, dan sangat mengharamkan tindakan bullying karena ternasuk perbuatan zalim. Hanya Khilafah Islam yang mampu memberikan solusi komprehensif untuk memberantas bullying secara tuntas. [*]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok