OPINI | HUKUM | POLITIK
“Bahwa hukuman mati ataupun kebiri tidak efektif untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual. Keduanya menilai bahwa rehabilitasi dan membangun kesadaran pelaku adalah pilihan yang tepat,”
Oleh : Zhuhriana Putri
AKHIR-akhir ini Indonesia dihadapkan dengan dilema sistem hukuman mati terhadap beberapa kasus berat yang terjadi. Pro dan kontra terjadi di kalangan elit pemerintahan dalam menetapkan sanksi yang layak diberikan kepada pelaku. Mulai dari kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan dan kasus korupsi yang dilakukan beberapa elit penguasa.
Kejahatan tingkat berat seperti kekerasan seksual dan korupsi dianggap belum mendapatkan hukuman yang menjerakan karena terbukti kasus tetap merebak terjadi. Namun saat hukuman mati diajukan timbul polemik antara menjerakan dan komitmen penegakan HAM.
Seperti yang dilansir dari Tirto.id (13/01/2022), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menuntut Herry Wirawan dengan hukuman mati. Herry dituntut atas perbuatan keji memerkosa 13 santriwati di Madani Boarding School, Bandung, Jawa Barat selama 2016 hingga 2021. Jaksa juga menambahkan sanksi untuk Herry berupa membayar denda Rp500 juta dan membayar biaya restitusi kepada para korban Rp331 juta.
Serta sanksi non-material berupa pengumuman identitas, identitas terdakwa disebarkan, dan hukuman kebiri kimia. Namun keputusan Jaksa tidak disetujui oleh Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati dan Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi.
Keduanya beranggapan bahwa hukuman mati ataupun kebiri tidak efektif untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual. Keduanya menilai bahwa rehabilitasi dan membangun kesadaran pelaku adalah pilihan yang tepat.
Begitu juga yang dilansir dari JawaPos.com (16/01/2022), Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Dio Ashar Wicaksana, menyatakan bahwa secara prinsip hukuman mati tidak relevan karena tidak berdampak pada penurunan angka kriminal atau tindak pidana. Menurutnya, hukuman mati tidak akan memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Pro dan kontra yang terjadi dalam menentukan sanksi menunjukkan ketidakadilan sistem yang diterapkan pada hari ini. Sistem demokrasi-sekulerisme yang diterapkan di negara-negara seluruh dunia menjadikan sistem hukum murni ditentukan oleh manusia.
Padahal manusia memiliki keterbatasan dalam menjangkau aturan dan hukum apa yang layak diterapkan terhadap permasalahan yang terjadi. Karena penilaian manusia akan senantiasa bertentangan. Aturan yang dibuat oleh manusia belum tentu sesuai dengan seluruh manusia di muka bumi. Sehingga hal ini lah yang menimbulkan pro dan kontra. Satu pihak setuju sedangkan pihak lain tidak setuju.
Jika sistem hukum dan sanksi ditetapkan oleh Sang Pencipta dan Sang Pengatur melalui ajaran agama yang diturunkan yaitu Sistem Islam, tentu tidak akan menimbulkan pro dan kontra.
Karena aturan tersebut pasti lah aturan yang adil untuk seluruh manusia. Ketidakadilan terjadi ketika hukum Allah ditinggalkan dalam penentuan sanksi kejahatan besar. Sehingga sulit mengharapkan adanya keadilan di sistem demokrasi-sekulerisme yang diterapkan saat ini.
Pengamat masalah perempuan dan generasi, dr. Arum Harjanti, seperti yang dikutip dari Mnews (17/01/2022) menyatakan bahwa persoalan besar ini membutuhkan solusi mendasar, baik dari sisi pencegahan maupun sanksi yang menjerakan.
Termasuk juga perlindungan penuh terhadap korban. Hanya aturan Allah yang akan memberikan keadilan terbaik di dunia maupun akhirat baik terhadap pelaku maupun korban. Hukum yang adil hanya dapat diterapkan sempurna dalam sistem yang juga menerapkan aturan Allah secara kaffah.
Tidak hanya dalam perkara kejahatan seksual saja, tetapi juga dalam semua bidang kehidupan. Tegaknya Khilafah Islamiyah menjadi harapan tegaknya keadilan yang sesungguhnya. [*]
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Sumatera Utara