Jakarta, Lapan6online.com – Rencana revisi UU KPK dinilai melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Sebab, tidak ada urgensi apapun dari rencana revisi UU tersebut selain kepentingan DPR.
Begitu ditegaskan pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, sesaat lalu di Jakarta, Kamis (5/9).
“Tidak ada urgensinya (revisi UU KPK). Ini murni dendamnya DPR karena tidak bisa ‘pegang’ KPK,” kata Fickar.
Pakar hukum dari Universitas Trisakti ini menilai revisi UU KPK hanya dapat melemahkan lembaga antirasuah. Hal itu lantaran ditemukannya beberapa poin revisi yang dapat mengancam kinerja penindakan dan pencegahan korupsi, yakni adanya Dewan Pengawas (DP) yang memberi izin Surat Penghentian Penyidikan (SP3).
“Langkah DPR ini terlihat berniat melemahkan KPK. Jika KPK diawasi dan diberi kewenangan SP3, itu sama dengan mendegradasi KPK,” kata Fickar.
“Jadi jelas perubahan UU KPK ini arahnya pelemahan secara sistemik,” imbuhnya.
Atas dasar itulah, Fickar meminta Presiden Joko Widodo untuk menyatakan sikap tegas dengan menolak pembahasan revisi UU KPK tersebut.
Sebab, wacana ini mirip dengan seleksi calon pimpinan KPK (Capim KPK), masyarakat, kata Fickar, disebut telah kecolongan karena aspirasinya tidak dipedulikan panitia seleksi (Pansel) lantaran meloloskan capim KPK yang diduga bermasalah.
Presiden Jokowi harus tegas menolak perubahan ini, jangan seperti soal capim KPK yang diserahkan pansel yang tidak memperdulikan aspirasi masyarakat,” tuturnya.
“Menurut saya, jangan main-main dengan aspirasi masyarakat, pasti akan ada akibat sosiologis dan yuridisnya,” demikian Fickar menambahkan. (Rmol)