“Namun saat ini hal itu menjadi sangat sulit, dimana kehidupan pun diatur oleh sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, agama hanya sebatas mengatur ibadah ritual selebihnya agama tak boleh masuk dalam ranah publik apalagi urusan negara”
Oleh : Devita Deandra
JAKARTA | Lapan6Online : Sepulangnya ke Tanah Air, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) H25 menyerukan revolusi akhlak. “Menanggapi sambutan umat yang begitu luar biasa terhadap seruan Imam Besar FPI ini, tentu merupakan representasi simbol kerinduan umat akan keadilan. Berbagai spanduk, pamflet, leaflet, alat-alat peraga kampanye lainnya terpampang jelas gambar HRS dengan tagline atau semboyan Revolusi Akhlak-nya.
Rakyat telah bosan dengan demokrasi dan kepemimpinan semu sehingga mereka menaruh harapan sebuah perubahan terhadap para ulama yang hanif.
Sebab dari sekian banyak pemimpin selama ini tak mampu mewujudkan keadilan atas nama demokrasi dengan slogan mashurnya, dari, oleh dan untuk rakyat.
Dalam realita kehidupan di masyarakat banyak ditemukan fakta dan praktik demokrasi yang tidak seirama dan menyimpang dari pesan dan slogan tersebut.
Demokrasi telah dikebiri dan dibelokkan oleh kepentingan politik.
Tentu bahwa pembelokkan demokrasi ini tidak hanya mencederai rasa keadilan, tapi juga bertentangan dengan fitrah kemanusiaan.
Lahirnya omnibus law menjadi salah satu indikasi betapa demokrasi menjadi alat kepentingan politik yang orientasinya tidak lagi menyasar pada prinsip demokrasi itu sendiri. Demokrasi hanya menjadi wadah untuk mengesahkan keputusan berdasar suara terbanyak tanpa melihat sisi nilai yang berkeadilan.
Demokrasi menjadi alat legitimasi terhadap semua kebijakan yang cenderung tidak berpihak kepada rakyat hingga cita-cita kesejahteraan dan kedamaian pun ibarat jauh panggang dari api.
Contoh lain, UU Minerba dan UU PMA yang berhasil meliberalisasi sumber daya alam milik rakyat. Hingga negara alih-alih mempunyai modal untuk membiayai pembangunan, malah kian tenggelam dalam kubangan utang. Sementara di sisi lain, rakyat harus rela hidup dengan ancaman kemiskinan.
Begitu pun UU KPK yang sempat kontroversial dan memandulkan fungsi pengawasan dan penindakan. Hingga UU ini dipandang terlalu ramah terhadap pelaku korupsi dan tindak kecurangan. Hal ini menjadi surga bagi para koruptor, makelar proyek dan para pemburu uang siluman.
Ini hanya bagian kecil saja dari sekian banyak contoh yang tidak terkuak. Di luar itu, masih banyak UU dan kebijakan pro-kapitalis, liberal, bahkan pro-asing aseng. Termasuk undang-undang atau rancangan undang-undang yang mengukuhkan sekularisme, yang bisa merusak tatanan keluarga dan masyarakat Islam. Semisal, UU PKDRT, RUU PKS, RUU KUHP, dan lain-lain.
Alhasil, potret masyarakat demokrasi senantiasa dipenuhi aneka persoalan yang senantiasa dilingkupi krisis multidimensi berkepanjangan dan tak mampu diselesaikan. Paling parah, sistem ini cenderung mengukuhkan hegemoni kapitalisme global.
Dapat dipastikan bahwa segala kerusakan yang ada ini merupakan buah dari penerapan sistem demokrasi kapitalistik yang telah usang.
Bila rakyat Indonesia meinginkan perubahan, maka para pemimpin patut menjadikan Rasulullah sebagai figur dan suri tauladan bagaimana membangun peradaban dan masyarakat di Madinah baik sebagai individu, anggota masyarakat, dan kepala negara.
Maka, tidak berlebihan bila seruan Revolusi Akhlak yang diinisiasi H25 dimulai dengan meneladani sosok yang memiliki akhlak terbaik di antara umat manusia.
Dialah Rasulullah ﷺ.
Revolusi akhlak haruslah didasari revolusi akidah yang berpengaruh terhadap cara pandang terhadap dunia atau world of view. Memberi jawaban tuntas atas tiga pertanyaan mendasar. “Dari mana kita berasal? Apa tujuan hakiki kita hidup? Dan ke mana kita akan kembali?”
Sungguh, manusia diciptakan Allah SWT sebagai makhluk yang sempurna dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah SWT yaitu tunduk dan patuh serta terikat dengan segala perintah dan larangan-Nya. Pastinya, manusia akan kembali kepada Allah SWT karena hidup di dunia sementara. Rasulullah SAW bersabda, “…Tidaklah aku di dunia ini kecuali hanyalah seperti pengendara yang bernaung di bawah pohon lalu pergi meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi).
Istirahat di bawah pohon. Itulah kehidupan dunia jika dibandingkan dengan akhirat, akan tampak satu hari di akhirat bagai lima puluh ribu tahun di dunia (QS. Al Ma’arij : 4). Oleh sebab itu, jika hidup di dunia ini sangat sebentar, pastilah ada sesuatu yang penting yang harus dipersiapkan manusia untuk menyongsong kehidupan di akhirat yang kekal. Allah berfirman, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS Al-Baqarah: 197).
Jadi, sejatinya takwa yang menjadi pusat perhatian. Seluruh waktu, tenaga, bahkan hidup kita ini tertuju untuk takwa yaitu melaksanakan seluruh kewajiban dan meninggalkan seluruh keharaman yang ditetapkan Allah. Sebab, takwa inilah yang menentukan posisi manusia di hadapan Allah. Bukan kekayaan, ilmu, atau kedudukan melainkan hanya takwa.
Namun saat ini hal itu menjadi sangat sulit, dimana kehidupan pun diatur oleh sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, agama hanya sebatas mengatur ibadah ritual selebihnya agama tak boleh masuk dalam ranah publik apalagi urusan negara.
Salah besar jika ada yang mengatakan urusan beragama adalah urusan pribadi. Karena takwa pulalah yang menjadi kunci keberkahan bagi negeri. Hal ini dalam rangka mewujudkan negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Sebagaimana firman Allah:
“Andai suatu penduduk negeri itu beriman dan bertakwa maka Allah akan limpahkan kebaikan itu dari langit dan bumi.” (QS Al-A’raf: 96)
Jika revolusi akhlak adalah titik awal bagi umat untuk mengubah diri dan perilaku dari maksiat menuju ketaatan total dan bertakwa hanya kepada Allah Swt, maka revolusi akhlak sejatinya adalah merevolusi diri dan masyarakat agar bersungguh-sungguh menjadi hamba Allah yang benar-benar taat dan tunduk pada syariat-Nya secara keseluruhan.
Dengan dilanjutkan merevolusi tata aturan kehidupan, sebab tanpa adanya dukungan tersebut akhlak tak memiliki penjagaan, siapa yang bisa menjamin akhlak seseorang ketika kehidupan hari ini adalah kehidupan yang liberal dan sekular. Wallahu’alam. [GF/RIN]