Silang Sengkarut Revisi UU TNI

0
7

OPINI | POLITIK

“Tidak pernah dikejar orang orang cepak memakai Toyota Hardtop, jemputan tengah malam di rumah, dijadikan ‘latihan’ di kantor Koramil dan kantor Kodim. Sebab militer telah lama masuk barak dan bertransformasi,”

Oleh : Dimas Sipriyanto

MEREKA yang berhak turun ke jalan, demo anarkis dan menolak revisi RUU TNI adalah Adian Napitupulu, Budiman Sujatmiko, Fahri Hamzah, Fadli Zon, Nezar Patria dan nama nama populer lainnya atau nama tak dikenal – di antara mereka yang pernah turun ke jalan di tahun 1998.

Merekalah yang pernah berhadapan dengan militer yang bengis kepada mahasiswa dan kekuatan anti rezim Suharto di era 1990an. Ketika muncul perundangan yang memungkinkan tokoh tokoh dari militer kembali ke tampuk kekuasaan, mereka lah yang seharusnya paling cemas.

Faktanya, mereka anteng anteng saja. Artinya, apa yang mereka khawatirkan tak ada.

Jika Anda meyakini, mereka diam karena sudah punya jabatan – nampaknya begitu juga pihak yang ngotot anti revisi RUU TNI. Motif sebenarnya, ‘ngarep’ jabatan. Minta pos penugasan dan konsesi.

Sekilas lintas, kita bisa saksikan bahwa para mahasiswa yang demo anti multifungsi TNI lahir setelah tahun 2.002 – bahkan 2005. Juga para aktifis yang unjuk bicara. Artinya mereka anak anak kemarin sore, yang dicekoki dan indoktrinasi antimiliter.

Mereka tidak mengalami demo dan krisis 1998. Tidak mengalami kekejaman militer. Tidak merasai sabetan rotan tentara PHH. Tidak pernah dikejar orang orang cepak memakai Toyota Hardtop, jemputan tengah malam di rumah, dijadikan ‘latihan’ di kantor Koramil dan kantor Kodim. Sebab militer telah lama masuk barak dan bertransformasi.

Memang ada keluarga korban 1998 yang bicara, tapi mereka alpa bahwa kini mereka berhadapan dengan militer generasi baru, militer yang sudah mereformasi diri. Militer yang sudah berubah.

Kekuasaan memang mudah disalahgunakan. Tapi apa itu hanya ada di penguasa militer? 25 tahun terakhir kekuasaan juga sering disalahgunakan oleh sipil. Partai melahirkan ribuan politisi busuk. Triliunan kerugian negara menguap. Mengapa tidak anti kepada politisi sipil?

Musuh bangsa kita adalah korupsi, manipulasi, KKN – bukan militer – bukan tentara, bukan polisi. Musuh kita adalah keserakahan. Penyalahgunaan kekuasaan – dan itu dilakukan siapa saja dari kelompok mana saja.

Para mahasiswa yang demo itu tumbuh besar dan berhadapan dengan polisi. Tak mengalami tentara yang menjabat di semua lini, melainkan polisi. Tapi mereka “sok trauma”, antipati dan ikut ikutan generasi yang menjadi korban rezim militer.

Mereka adalah generasi baru korban provokasi, sebagaimana generasi muda muslim yang antipati pada PKI berdasarkan doktrin dan dongeng. Doktrin antipati pada ideologi kiri, kekuatan penyeimbang, kelompok kritis, dongeng para korban kekejaman di masa lalu.

Demo demo yang ramai kini sebenarnya digerakkan oleh mereka yang sedang nganggur, antek NGO asing yang ingin Indonesia rusuh. Bukan antipati RUU TNI – yang kini sudah diundangkan jadi TNI.

Jam sejarah tak berulang dan berputar pada titik awalnya. Selalu ada revisi dari masa lalu.

Perang yang telah membunuh jutaan manusia tidak berulang dengan cara yang sama, karena para pelaku dan belajar sejarah mengevaluasinya. Pandemi global selalu datang dalam bentuk yang lain. Karena para pakar sudah mempelajarinya. Demikian juga modus korupsi kekuasan, sebagaimana yang juga berulang. Tidak dengan cara yang sama.

RUU TNI sudah disahkan sebagai Undang undang. Dan demo antipatinya masih berlangsung. Bermodal warisan trauma generasi sebelumnya.

Memang lumrah. Akan tetapi, kekhawatiran tersebut harus dilihat secara lebih cermat karena tim evaluator juga mencermati pasal pasal krusial dan kontroversial politisi yang pernah berseberangan dengan militer. Dalam hal ini politisi PDIP – partai mayoritas di parlemen – mantan musuh rezim Orde Baru.

Bahwa celah praktik dwifungsi ABRI – sebagaimana terjadi masa lalu – telah tertutup rapat. Tidak ada perubahan sama sekali mengenai jati diri TNI sebagai tentara profesional yang tidak berpolitik, tidak berbisnis, dan tunduk pada kebijakan politik negara.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, telah menegaskan bahwa draft terbaru revisi UU TNI tidak mengembalikan dwifungsi ABRI. Sebaliknya, draft terbaru revisi UU TNI memperjelas batas-batas sejauh mana TNI dapat menempati jabatan publik.
Menurut dia, revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 itu tidak terlalu mengganggu desain politik yang dicita-citakan reformasi.

Pun demikian, DPR dan pemerintah sepakat untuk mempertahankan Pasal 39 yang melarang prajurit aktif untuk menjadi anggota parpol, berpolitik praktis, berbisnis, dan mengikuti pemilu. Kemudian, prajurit aktif TNI yang menduduki jabatan sipil tetap harus mengundurkan diri/pensiun.

“Sekarang ada penegasan kembali bahwa anggota TNI yang mau masuk ke Jabatan Sipil itu harus mengundurkan diri atau pensiun dini,” kata dia.

Penambahan 5 instansi negara yang dapat diduduki oleh prajurit aktif bukanlah ekspansi, dikarenakan lima institusi tersebut memang memiliki bagian yang berkelindan dengan sektor pertahanan atau kemampuan teknis kemiliteran.

Lima institusi tambahan itu : penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, dan kejaksaan agung, mewakili institusi yang diperbolehkan peraturan perundang-undangan lain untuk merekrut prajurit aktif.

Setelah revisi UU TNI disahkan oleh DPR, maka prajurit TNI aktif di lembaga/institusi negara (termasuk BUMN , Bulog , Kemenhub dan lain lain ) di luar 15 instansi tersebut wajib mengundurkan diri/pensiun jika ingin tetap menduduki jabatan sipil.

Dengan demikian, tidak ada penambahan jumlah Kementerian/lembaga yang dapat diisi prajurit aktif TNI dan tidak ada perubahan terhadap pasal² yang selama ini melarang praktik dwifungsi TNI. Revisi UU TNI justru memberikan payung hukum yang lebih kuat untuk menjaga profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara.

Para mahasiswa dan aktifis muda, sedang bergairah turun ke jalan dan mencari eksistensi diri. Menoreh kenangan masa muda.

Dan karena kurang literasi, kurang diskusi mereka menjadi mangsa empuk provokasi politisi nganggur, oposan, dan NGO asing yang ingin Indonesia terpecah belah. (*Kop/MasTe/Lpn6)

Disclaimer :
Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan Lapan6Online.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi Lapan6Online.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.