OPINI | POLITIK
“Mental para pejabat negara di tengah kehidupan sekuler kapitalisme memang begitu adanya. Cara pandang dan gaya hidup mereka yang menepis agama dari kehidupan hingga tak heran mereka jauh dari pemahaman religious,”
Oleh : Mutia Puspa Ningrum,
LELAH, muak, bosan. Mungkin begitulah yang dirasakan masyarakat ketika mendengar berita kasus Rafael Alun Trisambodo. Mantan pejabat pajak yang saat ini sedang diperiksa KPK tersebut, menambah daftar panjang kasus penyalahgunaan kekuasaan di negeri ini.
Kekayaannya yang dinilai tak wajar terkuak setelah viral kasus penganiayaan oleh anaknya MD. Masyarakat menyoroti kehidupan mewah dan flexing yang kerap dipamerkan Mario di media sosial. Hal tersebut berujung terungkapnya skandal pajak ini.
Di awal terungkapnya kasus, menurut Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) 2021 harta kekayaan Rafael Alun mencapai Rp56,1 Miliar. Setelah sebelumnya pada tahun 2011 harta yang dilaporkan ke KPK adalah Rp21 Miliar. Artinya bertambah Rp35 Miliar dalam 11 tahun.
Sebelum akhirnya memecat Rafael Alun dari jabatannya, Menkeu Sri Mulyani menanggapi kasus ini dengan meminta masyarakat untuk tidak berspekulasi bahwa kenaikan harta pegawai pajak adalah hasil korupsi. Karena bisa jadi kenaikan harta ini disebabkan naiknya harta tanah, harga rumah, harga pasar dan lain-lain.
Tak berselang lama, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya transaksi mencurigakan senilai Rp500 miliar dan kemungkinan akan terus bertambah. Ini didapat dari sekitar 40 rekening yang berkaitan dengan Rafael Alun yang diblokir PPATK antara lain rekening milik istri, anaknya, serta badan usaha atau perusahaan dan individu lainnya (liputan6.com 9/3/2023).
Hal tersebut sungguh mencederai perasaan dan kepercayaan masyarakat. Di tengah berbagai himpitan ekonomi, PHK, naiknya harga bahan-bahan pokok, berbagai beban pajak yang terus menghantui, perilaku pejabat dengan gaya hidup mewah dan pamer kekayaan adalah sesuatu yang menyakitkan.
Setali tiga uang, Eko Darmanto Kepala Bea cukai Yogyakarta dicopot dari jabatannya karena terbukti tidak melaporkan seluruh kekayaannya dalam LHKPN. Hal ini pun adalah buntut dari pamer kekayaaan di media sosial. Dalam akun instagramnya Eko kerap memposting foto dengan latar belakang mobil mewah, motor gede hingga pesawat terbang Cessna.
Memang Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai adalah dua instansi yang tunjangannya relatif tinggi. Tunjangan pejabat pajak bisa mancapai ratusan juta rupiah.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 37/2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, besaran tunjangan kinerja pegawai DJP untuk pejabat struktural eselon II ditetapkan pada kisaran Rp56,78 juta hingga Rp81,94 juta per bulan. Sementara tunjangan kinerja pejabat struktural eselon I ditetapkan pada kisaran Rp84,60 juta hingga Rp113,37 juta per bulan.
Besaran tukin pegawai DJP yang dianggap terlalu besar ini dapat menimbulkan kesenjangan antar jenjang jabatan aparatur sipil negara (ASN) di Kementerian dan Lembaga (K/L) serta pemerintah daerah. Ketum Dewan Pengurus Korpri Nasional (DPKN) Zudan Arif Fakrulloh meminta pemerintah melakukan reformasi secara radikal terhadap regulasi gaji dan tunjangan kinerja pegawai secara proporsional.
Mengapa tunjangannya bisa begitu tinggi? Salah satu alasannya karena pemerintah meyakini gaji besar pegawai pajak akan menjauhkan mereka dari korupsi. Sungguh ini adalah sebuah ironi.
Di satu sisi, masyarakat terus diwajibkan dengan berbagai pajak, masyarakat menengah keatas sampai miskin pun tak luput dari pungutan pajak. Di sisi lain, skandal mafia pajak terus bermunculan. Padahal gaji dan tunjangan mereka relatif tinggi.
Mental para pejabat negara di tengah kehidupan sekuler kapitalisme memang begitu adanya. Cara pandang dan gaya hidup mereka yang menepis agama dari kehidupan hingga tak heran mereka jauh dari pemahaman religius.
Pamer kekayaan dan hidup mewah adalah kepuasan yang menjadi tujuan. Apapun rela dilakukan demi mendapatkan pundi-pundi rupiah. Entah itu halal atau haram, tidak menjadi standar perbuatan mereka.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi yang lahir dari ideologi kapitalisme sekuler, kasus seperti penyalahgunaan jabatan untuk meraih keuntungan dan melanggengkan kekuasaan seolah menjadi kewajaran bagi siapa saja yang duduk di tampuk kekuasaan. Bahkan virus ini menjangkiti hampir seluruh pejabat pemerintahan mulai dari desa, kota, propinsi hingga di level pemerintahan pusat.
Bahkan hampir bisa dipastikan negeri ini mustahil keluar dari dilema sebab berganti regulasi telah dilakukan, namun kian hari kasus penyalahgunaan kekuasaan pejabat negara kian mengerikan dan tak berujung pada penyelesaikan yang berarti.
Meski disebut ada hukum dan sanksi yang ditetapkan, dan telah ada penanganan atas para penjahat negara tersebut, namun tak jua memberi efek jera bahkan pelakunya kian menjamur.
Kapitalisme sebagai corak masyarakat Indonesia termasuk dunia global hari ini telah merusak mental dan menodai kepribadian masyarakat tak terkecuali umat Islam. Standar dan tujuan dalam berbuat adalah keuntungan semata, nilai ruhiyah dan kemanusiaan dikesampingkan dan hilang begitu saja.
Pun demikian adanya para pejabat negara dewasa ini, mereka yang diberi jabatan seharusnya menggunakan jabatan dan kekuasaan untuk melayani dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, termasuk di dalamnya menjadi penjaga kedaulatan dan keamanan negara.
Sosok-sosok pemimpin dan pejabat negara yang sangat dirindukan umat hanya Islam sajalah yang mampu mewujudkannya. Sepanjang masa syariat Islam diterapkan secara kaffah, Islam hadir sebagai satu-satu peradaban yang mencapai kegemilangannya. Demikian pula umat Islam menjadi umat terbaik sekaligus menjadi teladan bagi umat-umat lainnya.
Para pemimpin di masa kejayaan Islam tercatat dalam sejarah sebagai superhero yang berhasil mengantarkan dunia pada kejayaan dan kegemilangan. Mereka menjadi sosok pemimpin yang amanah dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas mereka. Keberhasilan Islam dalam mencetak para pemimpin dan pejabat negara terjadi setidaknya dengan alasan:
Pertama : sistem pemerintah sebagai tempat bernaung para pejabat adalah sistem pemerintahan Islam. Seluruh hukum-hukum Islam yang bersumber dari al-Quran, al-Hadits, Ijma’ Sahabat dan Qiyas ditarapkan dan dilegalisasi sebagai undang-undang negara. Hal ini mengharuskan setiap warga negara yang hidup dalam pemerintahan Islam terikat dengan hukum-hukum Allah SWT secara menyeluruh.
Kedua : penetapan kurikulum berbasis akidah Islam dalam setiap jenjang pendidikan berkontribusi mewujudkan pembentukan pemahaman Islam dalam diri setiap muslim sekaligus menjamin akidah umat Islam kokoh sehingga membentuk rasa takut yang besar dalam diri setiap muslim untuk bermaksiat kepada Allah dengan berbagai cara. Termasuk ketika mereka diberi amanah menjadi pelayan umat.
Ketiga: persyaratan yang ditetapkan Islam dalam memilih pejabat negara sangat terperinci. Seperti syarat menjadi khalifah atau dalam pemimpin negara misalnya, Islam menetapkan tujuh syarat wajib seseorang bisa menjadi khalifah.
Dalam kitab berjudul “Struktrur Pemerintahan Dalam Islam” dijelaskan tujuh syarat wajib itu adalah; muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, mampu memikul tanggung jawab dan adil. Syarat itu juga wajib dipenuhi bagi para pejabat negara seperti wakil khalifah dalam urusan pemerintahan dan administrasi, para gubernur dan bupati.
Keempat : penetapan sanksi yang tegas terhadap para pejabat negara yang melakukan tindakan kejahatan (jarimah) dan kezaliman. Misal dalam kejahatan KKN, hukuman takzir akan diberlakukan. Khalifah akan menetapkan sanksi atas para pejabat juga pegawai pemerintahan yang menggunakan jabatan mereka untuk melakukan kejahatan bergantung bentuk dan jenis kejahatannya.
Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya berjudul Sistem Sanksi Dalam Islam menjelaskan bahwa hukuman Takzir yang akan ditetapkan oleh khalifah atas kasus KKN bisa berbentuk penjara, hukum cambuk, pengasingan, pengusiran, penyitaan harta kekayaan hingga hukuman mati, semuanya tergantung kebijakan khalifah setelah mengkaji tindak kejahatan yang dilakukan oleh pejabat atau para pegawai pemerintahan.
Mekanisme penanganan di atas hanya dimiliki oleh sistem pemerintahan Islam, sedangkan sistem Demokrasi, alih-alih berhasil menghapus tindak penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan rakyat dan negara, justru dengan konsep dan mekanisme penyelesaian masalahnya sengaja diciptakan oleh negara-negara Barat untuk melanggengkan tindak KKN dan menyuburkan para pelaku kejahatan. Sebab demikianlah demokrasi, lahir dari ideologi rusak, yaitu kapitalisme-sekuler. [*GF/RIN]
*Penulis Adalah Pegiat Dakwah