OPINI | POLITIK
“Tak sedikit dari mereka yang berkomentar bahwa kalimat Megawati itu adalah wujud ketidaksukaannya terhadap Islam,”
Oleh : Suriani, S.Pd.I,
SUDAH selayaknya seorang muslim senang dan bangga jika animo kaum muslimin besar untuk mengadakan pengajian. Semakin banyak majelis ilmu semakin besar peluang umat memahami Islam.
Kian dalam pemahaman umat pertanda kebangkitan Islam sudah di depan mata. Antusias umat menghadiri pengajian bukti rindunya mereka akan ajaran Islam yang sempurna.
Namun tak begitu adanya respon salah seorang tokoh negeri ini yang justru terheran-heran saat banyak umat Islam khususnya kaum ibu yang tertarik dengan majelis ilmu.
Seperti diwartakan pada laman Republika.co.id (19/02), tokoh itu adalah Ketua Dewan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Megawati Soekarno Putri.
Megawati dalam pidatonya saat menjadi pemateri Seminar Nasional Pancasila dalam Tindakan: “Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting, Kekerasan Seksual pada Anak dan perempuan, Kekerasan dalam Rumah Tangga serta Mengantisipasi Bencana” di Jakarta Selatan pada Kamis (16/02/2023), saat membahas masalah anak stunting mengaitkan dengan aktivitas keagamaan kaum ibu yang waktunya tersita untuk pengajian sehingga lupa mengurus anak.
Dirinya juga berpesan agar para ibu bisa membagi waktunya sehingga tidak dihabiskan untuk kegiatan pengajian lantas lupa dengan asupan gizi anak. Karenanya ia bakal mengistruksikan kepada dua menteri yang mengurusi ibu-ibu dan stunting, yaitu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Menteri Sosial (Mensos) agar membuat manajemen rumah tangga.
Statement mantan Presiden RI ini cukup membuat kening mengerut dan hati bertanya-tanya, benarkah bencana stunting yang menimpa banyak anak di dunia hari ini termasuk Indonesia karena kegiatan pengajian yang diikuti kaum ibu?
Kritik dan komentar tajam datang dari publik khususnya kaum emak-emak yang merasa terusik dengan pernyataan Megawati tersebut. Tak sedikit dari mereka yang berkomentar bahwa kalimat Megawati itu adalah wujud ketidaksukaannya terhadap Islam. Ungkapan Megawati ini tidak produktif dan kontroversial sehingga membuat gaduh di tengah publik.
Datang pula kritik dari Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat Andi Nurpati. Mengutip dari Sindonews.com (19/02), Mantan Komisioner KPU ini mengatakan bahwa sangat tidak pantas jika mempersoalkan ibu-ibu yang ikut pengajian sebab pengajian tidak dilakukan setiap saat, kadang sepekan sekali atau sebulan sekali.
Ia bahkan mengatakan jika ibu-ibu pengajian dipersoalkan, mengapa ibu-ibu yang dugem (dunia gemerlap) ke diskotik juga ibu-ibu yang bekerja full day tidak dipersoalkan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis turut pula memberi komentar. Dalam laman republika.co.id, ia berpendapat bahwa ibu-ibu yang rajin ke pengajian tidak menelantarkan anak-anaknya.
Senada dengan Andi Nurpati, KH Cholil Nafis juga menyebut datang ke pengajian lebih sedikit menghabiskan waktu dibanding ibu-ibu yang bekerja kantoran atau menjalankan bisnis. Justru jika ibu-ibu ikut pengajian maka ibu-ibu akan tahu dan peduli mengurus anak.
Jika merujuk pada penjelasan Kepala Seksi Promosi dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Bandung, Nila Avianti pada laman Liputan6.com (02/09/2021), Nila menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga faktor penyebab utama yang mempengaruhi terjadinya stunting pada anak, yaitu pola makan, pola asuh dan sanitasi yang kurang sehat.
Penyebab buruknya pola makan pada anak adalah karena sang ibu tidak memiliki akses terhadap makanan sehat dan bergizi seperti makanan berprotein tinggi, sehingga menyebabkan anak ikut alami kekurangan gizi.
Mendapat makanan sehat dan bergizi di era kapitalistik seperti hari ini sangat sulit bahkan mustahil bagi rakyat dengan tingkat penghasilan menengah ke bawah. Sebab makanan berkualitas tinggi berbanding dengan harganya yang tinggi. Dengan kata lain, rakyat harus mengeluarkan rupiah dengan jumlah besar untuk mendapatkan makanan sehat dan bergizi.
Dengan kondisi krisis hari ini, rakyat banyak mengalami kesulitan dan kesempitan hidup. Alih-alih membeli makanan sehat dan bergizi, bisa makan dalam sehari saja sudah sangat menggembirakan. Mahalnya hampir semua komoditi bahan pokok, ditambah biaya hidup yang mencekik leher seolah bisa menikmati makanan yang berkualitas hanya tinggal angan untuk rakyat di negeri ini.
Negara sebagai aktor utama yang seharusnya menjamin tersedianya pangan yang berkualitas bagi rakyat nyatanya tidak optimal menangani problem kemiskinan, kelaparan dan stunting.
Banyaknya berdiri pabrik-pabrik makanan olahan milik perusahaan swasta juga impor bahan pangan yang terus terjadi adalah bukti bahwa negara gagal menjamin kesejahteraan rakyat. Negara dan para pejabatnya yang seharusnya bertanggung jawab terhadap munculnya bencana stunting pada anak.
Begitu pun halnya dengan persoalan pola asuh, meski tak pernah dimasukkan sebagai salah satu sarana pendidikan bagi generasi, fakta hari ini sosial media menjadi sumber informasi sekaligus contoh pola sikap generasi.
Namun lagi-lagi KPI sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah untuk mengontrol tayangan-tayangan TV maupun beberapa plat form sosial media gagal menjalankan fungsinya.
Banyak tayangan yang tidak layak ditonton bahkan sangat berbahaya jika ditonton khususnya oleh generasi, pornoaksi dan pornografi hingga pemasaran LBGT misalnya. Sejatinya, pemerintah menghentikan paham kebebasan karena kebebasan inilah penyebab rusaknya generasi.
Tak terkecuali sistem pendidikan sekuler yang memberi porsi pendidikan agama sangat sedikit turut memberi sumbangsih salahnya pola asuh generasi dewasa ini. Hal ini pun tak lepas dari kesalahan pemerintah karena menjadikan ideologi sekularisme sebagai ideologi bernegara.
Melalui pengajian, para ibu bisa mendapatkan ilmu dan informasi tentang pola asuh dan pendidikan terhadap anak sesuai dengan perspektif Islam. Sebuah ilmu yang sangat dibutuhkan oleh para ibu yang tidak mereka dapatkan kecuali dalam pengajian. Bukankah seharusnya pengajian digalakkan agar banyak ibu yang teredukasi dan menjadi ibu yang tercerdaskan dengan Islam?
Jika menganggap minimnya waktu ibu bersama anak sebagai penyebab stunting, bukankah seharusnya ide feminisme yang terus menyebarkan racun kesetaraan gender agar kaum perempuan berpartisipasi di ranah publik dan meninggalkan tugasnya di ranah domestik juga sangat layak untuk mendapatkan kritik keras?
Terlebih problem sanitasi yang tidak sehat, bukankah seharusnya lagi-lagi pemerintah yang bertugas menyediakan segala sarana dan prasarana yang dibutuhkan rakyat termasuk pengadaan sanitasi yang berkualitas?
Berangkat dari semua itu, menyalahkan pengajian yang diikuti ibu-ibu tentu tidak berkorelasi dengan akar masalah sesungguhnya. Justru sikap abai dan lalai yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjamin kesejahteraan rakyat termasuk meninggalkan tugasnya sebagai penjaga hukum-hukum Allah Swt menjadi alasan yang tepat bagi rakyat termasuk para ibu untuk meramaikan pengajian.
Sebab, selain hukum mempelajari Islam adalah fardu ‘ain (kewajiban individu), juga agar para ibu bisa mendalami pemikiran-pemikiran Islam. Terutama kajian Islam kaffah dengan mengkaji seluruh hukum-hukum Islam yang tak hanya wajib untuk diterapkan namun juga dengan penerapannya akan menyelesaikan seluruh problematika manusia dalam kehidupannya.
Tujuan tertinggi dari pemahaman Islam itu adalah bangkitnya keinginan umat Islam untuk hidup dalam naungan syariat Islam lantas mendorongnya untuk berjuang bersama dengan umat Islam lainnya dalam upaya merealisasikan tegaknya hukum-hukum Allah secara totalitas di seluruh lini kehidupan di muka bumi ini.
Bencana stunting anak termasuk persoalan yang hanya bisa terselesaikan jika hukum-hukum Islam diterapkan. Sebab hanya Islam yang memiliki konsep komprehensif dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Politik ekonomi dalam Islam akan menciptakan APBN yang stabil dan kuat sehingga lebih dari cukup untuk merealisasikan program-program negara untuk menjamin pemenuhan bahan pokok yang tak hanya halal dan thayyib sebagaimana perintah Allah, namun juga sehat dan bergizi serta membuat kebijakan guna mengatur distribusi kebutuhan pokok agar bisa sampai secara merata kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Dalam pembentukan pola asuh yang produktif, negara Islam sebagai metode syar’i untuk menerapkan hukum Islam akan menciptakan suasana pendidikan untuk mewujudkan generasi berkepribadian Islam.
Semua pilar yang bertugas menjaga generasi seperti orang tua, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, masyarakat hingga tayangan-tayangan baik media cetak maupun elektronik akan dikontrol secara serius oleh negara guna menjaga generasi dari segala bentuk pengrusakan akidah, pemikiran dan moral generasi.
Juga mendirikan berbagai sarana dan prasarana guna menunjang pola hidup sehat dan terjamin akan dilakukan oleh negara. Semua regulasi spektakuler di atas hanya dimiliki oleh Islam. Wallahu A’lam. [*GF/RIN/Red]
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah