“Terjadilah lingkaran oligarki di mana negeri ini diatur oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan sendiri, sementara urusan rakyat terabaikan,”
Oleh : Zulaikha
Jakarta | Lapan6Online : Tidak ada yang dapat memastikan kapan berakhir pandemi ini. Karena sampai saat ini jumlah warga yang terpapar virus corona terus meningkat. Namun, sayang pemerintah dan para menterinya, DPR dan penyelenggara pemilu bersepamat untuk tetap menyelenggarakan pilkada.
Ini berdasarkan keputusan Perpu nomor 2 tahun 2020 tentang Pilkada yang telah ditetapkan oleh Presiden Jokowi. Yang pada awalnya pilkade akan di selenggarakan 23 september, namun pilkada 2020 akan diselenggarakan secara serentak pada 9 Desember 2020 di 270 daerah se-indonesia. (suara.com, 9/6/2020).
Pun pilkade ditunda pada bulan Desember, siapa yang akan menjamin pandemi benar-benar berakhir? Tidak kan publik masih ingat tentang pengalaman pahit penyelenggaran Pemilu 2019 lalu? Tidak kah cukup data KPU RI dimana jumlah petugas meninggal saat itu mencapai 894 petugas dan sebanyak 5.175 petugas mengalami sakit.?
Apakah tidak cukup pengalaman Pemilu lalu menjadi pelajaran? Apalagi kini kondisi pandemi yang telah menelan ribuan jiwa rakyat. Masihkah tetap ngotot untuk selenggarakan pilkada?
Tentu dengan kasus covid-19 yang masih tinggi di Indonesia keputusan ini mendapat kontra dari beberapa kalangan. Salah satunya dari anggota komisi 2 DPR RI Mardani Ali Sera. Sejak awal keluarnya Perpu ini ia telah mengusulkan penundaan Pilkada serentak 2020.
Menurutnya di tahun berat karena demi ini seharusnya fokus pemerintah adalah berjuang menanggulangi wabah dan mengurangi dampak penyebabnya.
Pemerintah pun telah berkomitmen untuk memberikan dukungan tambahan pendanaan Pilkada tahap pertama, Juni sebesar 124 triliun rupian. Bahkan hal aneh jika Pemerintah tetap ngotot melaksanakan Pilkada meski mengancam keselamatan nyawa rakyat.
Pun dalam menyelenggarakan Pilkada ini KPU mengajukan tambahan 4,7 Triliun Rupiah. Bawaslu mengajukan tambahan 478 miliar rupiah dan dkpp mengajukan tambahan sebesar 39 miliar rupiah untuk persedian hand sanitizer, thermometer, desinfektan, masker untuk petugas dan alat pelindung diri di setiap tempat pemungutan suara.
Tentu itu bukanlah sedikit jumlahnya, mengingat utang negeri ini yang terus meningkat. Apakah tidak sebaiknya dana ini digunakan untuk membantu rakyatnya yang kesulitan saat ini akibat pandemi?
Belum lagi potensi golput yang menjadi tren saat pemilihan umum. Dalam kondisi normal saja angka golput tidak bisa dihindari apalagi saat pandemi ini. Maka akan ada pemanfaatan dari para Oknum dengan situasi ekonomi rakyat yang melemah akibat pandemi untuk mendapatkan dukungan pemilih.
Seharusnya pemerintah menyadari bahwa yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukanlah pilkada, namun kualitas dan integritas pemimpin yang lebih baik.
Semua ini adalah konsekuensi dari sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Sebab dalam meraih kekuasaan dalam sistem ini didasarkan pada suara terbanyak. Dengan anggapan suara terbanyak akan bisa mewakili aspirasi rakyat.
Kenyataan rakyat yg dimaksud adalah segelintir pemilik modal. Karena untuk memperoleh suara yang besar dalam sistem demokrasi dibutuhkan kampanye yang masif.
Tentu hal ini harus disokong dengan dana yang besar pula dan tidak mungkin jika data tersebut hanya dari kantong pribadi, melainkan juga disokong oleh partai dan pemilik modal.
Maka tak heran kebijakan pemimpin terpilih syarat dengan memutuskan kepentingan bisnis para kapital. Apalagi masa jabatan yang terbatas yakni 5 tahun menjadikan penguasa fokus mengembalikan modal pemilu dan memperkokoh kekuasaannya.
Terjadilah lingkaran oligarki di mana negeri ini diatur oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan sendiri, sementara urusan rakyat terabaikan. Kezaliman penguasa saat ini sangat mudah diselesaikan dalam sistem Islam.
Islam menempatkan kedaulatan tertinggi ada ditangan syariat dan kekuasaan ditangan rakyat. Artinya syariat Islam menjadi hukum yang ditegakkan di bawah seorang pemimpin.
Islam adalah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam pemilihan seorang pemimpinIslam telah ditetapkan metode pemilihan pemimpi yakni baiat yang sifatnya baku.
Dalam Islam pemilu langsung adalah salah satu teknik pemilihan pemimpin yang dilakukan sebelum terjadinya pembaiatan. Perwakilan juga menjadi pilihan dalam teknis pemilihan ini, yaitu rakyat memilih wakilnya, lalui wakil umat ini yakni majelis Umah yang memilih penguasa.
Pemilihan dalam islam sangatlah murah pembiayaannya, namun meskipun begitu pemilihannya sangatlah efektif dan menghasilkan output yang berkualitas.
Hal ini berdasarkan dari ;
Pertama, Islam telah menentukan kepemimpinan sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Beratnya amanah menjadikan pemimpin tidak berani bertindak sesuka hati.
Kedua, Islam menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah 3 hari. Dalilnya adalah ijma’ sahabat pada pembaiatan Abu Bakar radhiallahu anhu sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Batas waktu tiga hari ini akan membatasi kampanye sehingga tak perlu kampanye Akbar yang akan menghabiskan uang dalam jumlah besar. Teknis pemilihan juga akan dibuat sederhana, sehingga dalam waktu 3 hari pemilu sudah selesai.
Ketiga, masa jabatan khalifah tidak dibatasi atau bisa seumur hidup. Kecuali memenuhi syarat pemberhentian khalifah yang ditentukan syariat atau meninggal, maka proses pemilihan akan dilakukan kembali.
Adapun dalam pemilihan lain yaitu penguasa atau pejabat pemerintah untuk suatu wilayah atau provinsi serta menjadi Amir atau pemimpin wilayah tertentu langsung ditunjuk oleh khalifah. Dengan kata lain Wali adalah orang yang akan membantu khalifah mengurus pemerintahan di suatu wilayah daulah.
Seorang Wali diberhentikan jika khalifah memandang perlu hal itu atau jika penduduk wilayah itu atau mereka yang menjadi wakil penduduk wilayah tersebut yakni majelis umat menampakkan ketidak relaan dan ketidak sukaan terhadap wali mereka.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saat menjadi kepala negara Madinah saat itu, memberhentikan Muadz bin jabal dari jabatan Wali Yaman karena ada aduan bacaan sholatnya sangat panjang.
Demikianlah pemilihan yang berada dalan sistem Islam, sehingga Dana negara di Baitul Mal benar-benar dimanfaatkan secara optimal untuk kemaslahatan masyarakat. Termasuk saat terjadi pandemi, maka Khilafah akan fokus memberhentikan penyebarluasan wabah dan menjamin kebutuhan masyarakat terdampak wabah. Waallahu’alambishawab. GF/RIN
*Penulis Adalah Mahasiswi IAIN Jember
*Sumber : Radarindonesinews.com/Media Jaringan Lapan6online.com