“Sementara motif kerakusan harta dibabat dengan penegakan hukum atas kasus korupsi. Syariah Islam memberi batasan yang jelas dan hukum rinci berkaitan dengan harta para pejabat,”
Oleh : Eva Erfiana, S.S.
MENEGAKKAN hukum di negeri ini masih terus dipertanyakan keadilannya, tak terkecuali persoalan korupsi. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak serius menangani korupsi.
Ia bahkan menyoroti KPK dalam menangani kasus korupsi bantuan sosial (bansos) yang menjerat Juliari Batubara.
“Korupsi yang dilakukan Juliari dan kroninya adalah korupsi yang paling keji, dan harusnya ini menggerakkan KPK untuk menindaklanjuti kasus ini,” tegasnya seperti yang dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari akun Twitter @MataNajwa pada Kamis, 11 Februari 2021.
Kurnia Ramadhana menilai, kinerja KPK dalam menangani kasus ini seakan-akan tidak serius. Menurutnya, terdapat dua nama lainnya (selain Juliari P Batubara) yang diduga terlibat dalam kasus korupsi bansos. Dan kedua nama tersebut masih dalam satu partai dengan Juliari. Keadaan ini sejalan dengan indeks.
Keadaan ini sejalan dengan indeks persepsi korupsi yang dirilis TI (Transparency International Indonesia) baru-baru ini yang mengalami penurunan. Penurunan juga terjadi pada indeks demokrasi. Mantan Juru Bicara (Jubir) KPK Febri Diansyah mempertanyakan mengapa Indeks Persepsi Korupsi menurun dari tahun sebelumnya.
Kasus korupsi yang banyak terjadi di tengah pandemi menegaskan kronisnya masalah korupsi di negeri ini. Keberadaan lembaga penanganan korupsi di negeri ini memang masih terus dipertanyakan, apakah mampu memberantas korupsi? Ataukah malah menimbulkan masalah?
KPK dibentuk di masa Presiden Megawati, lembaga ini makin eksis di era SBY, karena mampu menguak beberapa skandal mega korupsi, namun kesan tebang pilih masih begitu kental.
Pasalnya KPK tak mampu menguak mega korupsi BLBI yang berkaitan dengan rezim berkuasa saat itu. Begitu pun dengan KPK di era Jokowi, adanya revisi RUU KPK telah melemahkan fungsi KPK.
Kini KPK seolah di bawah bayang-bayang oligarki kekuasaan. Buktinya begitu sulit menggeledah kantor partai yang sedang berkuasa dan lambannya KPK menangani kasus Harun Masiku dan eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Semua lembaga yang dibuat untuk memberantas korupsi nihil tak ada hasil yang signifikan.
Penanganan kasus yang tebang pilih seolah sedang mengonfirmasi bahwa lembaga tersebut berada di bawah bayang-bayang penguasa. Persoalan korupsi memang tidak akan selesai hanya dengan mengandalkan KPK dan tak cukup hanya memperkuat lembaga anti korupsi, sebab suburnya praktik korupsi di negeri ini karena penerapan sistem sekuler kapitalistik.
Dan solusi tuntasnya hanyalah menggantinya dengan sistem Islam, yakni sistem pemerintahan Islam (khilafah) yang akan menutup rapat seluruh jalur untuk korupsi.
Dalam sistem Islam, politisi dan anggota majelis umat tidak turut menentukan UU, kebijakan, anggaran, proyek dan pengisian jabatan. Politisi dan anggota majelis umat hanya fokus pada fungsi kontrol dan koreksi, termasuk menggunakan jalur mahkamah mazhalim. Adapun penentuan kepala daerah ditunjuk oleh khalifah.
Namun keberlangsungannya selain ditentukan oleh khalifah, juga ditentukan oleh penerimaan masyarakat, termasuk para anggota majelis wilayah. Jika mereka tidak menerimanya atau meminta diganti, maka khalifah harus mengganti kepala daerah itu.
Sementara motif kerakusan harta dibabat dengan penegakan hukum atas kasus korupsi. Syariah Islam memberi batasan yang jelas dan hukum rinci berkaitan dengan harta para pejabat.
Harta yang diperoleh dari luar gaji atau pendapatan mereka dari negara diposisikan sebagai kekayaan gelap (ghulul).
Agar kekayaan gelap dalam Islam dalam harta pejabat mudah teridentifikasi, sistem Islam melakukan pencatatan jumlah harta pejabat sebelum menjabat dan melakukan perhitungan setelah menjabat. Sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Memberantas korupsi memang utopis dalam sistem kapitalisme. Hanya dengan penerapan sistem Islam korupsi bisa diberantas dengan tuntas dan mudah karena dibangun atas ketakwaan individu, dan berjalannya kontrol dari masyarakat serta pelaksanaan hukum yang berasal dari wahyu oleh negara. [*]
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Gunadarma