Terkait Kasus ASABRI, Pengamat Sebut Bukanlah Kasus Korupsi : Lalu Apakah BPK Bohongi Publik?

0
13
Gedung PT Asabri

OPINI | HUKUM

“Tidak boleh ada tumbal dalam kasus ini, yang terjadi, yang melakukan kesalahan harus bertanggung jawab sesuai ketentuan hukum yang berlaku,”

Lapan6Online : Pakar Hukum Pidana, Prof Mudzakir menyoroti praktek penegakan hukum atas kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor,red) PT ASABRI yang disidangkan di Pengadilan Negeri Tipikor, DKI Jakarta.

Menurut ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini semestinya kasus Asabri bukanlah kasus kerugian keuangan negara atau korupsi melainkan kerugian korporasi.

“Kerugian tersebut kerugian korporasi, bukan kerugian keuangan negara, jika ada kerugian dalam pengelolaan korporasi itu. Kerugian korporasi bukan kerugian keuangan negara dan oleh karnanya bukan tipikor tetapi jika ada tindak pidana berarti tindak pidana lain bukan korupsi,” kata Mudzakir ketika dihubungi awak media, pada Selasa (30/11/2021).

Muzakir Juga mengaggap bahwa praktek penegakan hukum yang dilakukan terhadap terdakwa tidak benar. “Peraktek penegak hukum yang tidak benar atau tidak pas,” kata Mudzakir.

Berdasarkan fakta persidangan kasus Tipikor ASABRI yang menghadirkan ahli Badan Pengawas Keuangan (BPK) RI, pada Senin (22/11/2021) di PN Tipikor DKI Jakarta terungkap fakta bahwa penghitungan yang dilakukan BPK terkait kerugian negara sebesar Rp22,788 triliun tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.

Fakta pertama bahwa, BPK menghitung kerugian berdasarkan data uang yang keluar dari PT ASABRI tanpa memperhitungkan uang tersebut berbentuk aset. Sampai saat ini kerugian yang dimaksud BPK masih masih berbentuk aset. Kemudian, aset tersebut masih bernilai, bahkan berpotensi untung berkali-kali lipat namun, tetapi BPK tidak menjadikan itu sebagai pengurang kerugian yang diamksud.

Fakta kedua, ditemukan perhitungan saham SMBR (Semen Baturaja (Persero) Tbk. tidak sesuai. Menurut jaksa penuntut umun (JPU) metode menurut BPK, uang yang keluar dari ASABRI dan tidak kembali sampai saat ini. Tapi untuk menghitung SMBR didasarkan pada nilai saham per 31 Desember 2019. Jadi metode penghitungan yang dilakukan oleh BPK per kerugian saham dan reksa dana tidak konsisten. Sehingga kerugian negara yang disampaikan oleh BPK sebesar Rp 22,7 triliun tidak nyata dan pasti.

Mendengar keterangan ahli BPM pada persidangan tersebut, Ketua Majelis Hakim PN Tipikor IG Eko Purwanto meminta BPK menyampaikan kembali soal rincian kerugian negara, karena BPK belum menyebutkan detail kepada delapan terdakwa, mengingat tindakan BPK bertolak belakang dengan tempus de licti, rentang jabatan para terdakwa.

Olehnya itu, BPK gagal paham dalam menafsirkan penyelewengan uang negara dengan kerugian negara. Ternyata, kerugian negara Rp 22,788 triliun yang disampaikan BPK, investasi ASABRI yang masih berbentuk saham reksadana yang berpotensi untung berkali-kali lipat, namun BPK menvonis itu sebagai kerugian negara.

Terlebih lagi, BPK menyatakan bahwa ada keuntungan saham reksadana PT ASABRI dalam setiap jabatan.

“Jika Jumlah saham tetap, berarti tidak ada kerugian negara. Jika nilai harga saham naik atau turun itu adalah konsekuensi bisnis saham, seharusnya saat harga saham naik saham dijual. Jika harga saham turun melaju seharusnya pimpinan korporasi segera nelepas saham dan (jual). Jika membiarkan saham turun serendah – rendahnya dan saham dijual murah, maka korporasi alami kerugian bisnis karena kecerobohan dari pimpinan korporasi,” jelas Prof Mudzakir.

Lebih lanjut Mudzakir mengatakan, jika pimpinan korporasi diketahui bekerja sama dangan pembeli saham yang anjlok tersebut maka pimpinan korporasi telah melakukan tindak pidana dalam bisnis sama yang merugikan korporasi yang dipimpinnya. “Kerugian tersebut bukan tipikor tetapi tindak pidana umum karena masuk dalam tindak pidana umum,” ujarnya.

Terpisah, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menilai kasus PT ASABRI mengguncang ketatanegaraan.

“Jelas kasus ini mengguncang ketatanegaraan kita, nilainya sangat besar (Rp 22,788 triliun). Intinya yang harus kita desak adalah Jaksa dan hakim harus aktif menggoreng keterangan-keterangan para terdakwa itu,” ujar Margarito kepada wartawan di Jakarta, pada Selasa (30/11/2021).

Pakar yang juga penulis buku Pembatasan Kekuasaan Presiden ini menjelaskan, kalau masih ada yang disembunyikan dalam kasus yang menghebohkan tersebut, akan sangat berbahaya kedepannya.

“Jadi agar diketahui dan terungkap fakta-fakta baru, sehingga dengan fakta-fakta baru itu akan diketahui apakah mereka itu sudah orang yang sebenarnya atau bukan? Atau masih ada lagi orang lain, dan orang lain itu belum diambil (jadi tersangka) sampai dengan saat ini,” terang Margarito.

Dia melanjutkan, yang patut dan semestinya dilakukan para Jaksa dan Hakim dalam persidangan saat ini adalah terus menggali fakta baru jika memang terbukti ada.

“Kalau masih ada orang lain lagi maka itulah keadilan harus juga dikejar didesak, jangan-jangan mereka ini (terdakwa) juga korban, bagaimana mengembalikan kerugian kalau masih ada orang lain?,” pungkas Margarito.

Sementara itu Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) menerangkan tidak boleh ada tumbal dalam kasus PT ASABRI ini.

“Tidak boleh ada tumbal dalam kasus ini, yang terjadi, yang melakukan kesalahan harus bertanggung jawab sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” tegasnya saat dihubungi, pada Selasa (30/11/2021).

Dalam hal proses persidangan apabila ditemukan fakta-fakta baru, “Pandangan tersebut, tentunya memiliki argumentasi hukum, tetapi semua menjadi kewenangan majelis hakim untuk menjadi bahan pertimbangkan,” pungkas Suparji.

Dengan banyaknya kejanggalan dan fakta persidangan terkesan ada penggiringan opini untuk menutupi fakta yang sebenarnya. Ada apa di balik kasus PT ASABRI?. (*Tom/Red)

*Sumber : realita.co

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini