“Sejarah pun mencatat kemesraan hubungan dagang Indonesia – AS yang sangat mesra bagaikan Romeo dan Juliet. Presiden Jokowi agaknya menyadari hegemoni AS yang terkadang memang keterlaluan,”
Oleh : Hj. Tia Damayanti, M. Pd
Jakarta, Lapan6Online : Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat atau United States Trade Representative (USTR), pada tanggal 10 Februari 2020 memberikan pernyataan resmi terkait status Indonesia yang naik peringkat dari negara berkembang menjadi negara maju.
Pernyataan resmi tersebut diberitakan The Star bahwa selain Indonesia, Brazil, India dan bahkan Cina ikut-ikutan dinaikkan kelasnya. Di dalam negeri sendiri, berita ini baru mencuat setelah pada tanggal 24 Februari 2020, CNBC dan beberapa media mainstream dan online, merilis pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Dari berita tersebut ada beberapa hal yang perlu kita cermati.
Pertama, mengapa status naik kelas dari negara berkembang menjadi negara maju ditentukan oleh Amerika Serikat. Mengapa bukan oleh sebuah institusi riset yang representatif.
Kedua, jika naik kelas ini ditentukan dan diumumkan oleh negara Adi Daya seperti Amerika Serikat, adakah motif politis di baliknya.
Ketiga, apa implikasi atau dampak langsung terutama bagi Indonesia. Terkait 3 hal ini, beberapa media mainstream dan online mencoba menggali keterangan dari para ahli dan pelaku ekonomi. Jawaban yang didapat tentu tidaklah terang benderang dan tembus pandang. Namun cukup rasanya untuk sedikit lebih menyeruak kepada pemahaman, apa sebetulnya kepentingan yang ada di balik status naik kelas dari negara berkembang menjadi negara maju tersebut.
CNBC Indonesia pada 24 Februari 2020 merilis pendapat Wakil Ketua Kadin bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja. Menurutnya, status naik kelas tersebut justru memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi Indonesia.
Dengan naiknya kelas dari negara berkembang menjadi negara maju, Indonesia sudah tidak berhak lagi mendapat potongan bunga, fasilitas dan subsidi untuk ekspor ke Amerika Serikat. Dan yang tak kalah meresahkan, yaitu adanya sinyalemen dengan menjadi negara maju, AS akan selalu menyoroti, memonitor dan bahkan menyelidiki alur perdagangan ekspor dari Indonesia.
Di tambah lagi keterangan yang paling komprehensif, disampaikan oleh Bhima Yudhistira dari Institute for Development Economic and Finance atau INDEF. Bhima Yudhistira menyampaikan keterangannya dalam wawancara eksklusif dengan media Jerman yang terkemuka yakni Deutsche Welle atau biasa dikenal dengan DW edisi Bahasa Indonesia.
Dalam wawancara yang dirilis 24 Februari 2020, Bhima Yudhistira mengemukakan beberapa analisa yang menarik dan sungguh signifikan. Yang pertama adalah bahwa utak-atik ranking dan naik kelas status sebuah negara, belum pernah dilakukan oleh Amerika Serikat. Baru pada era Presiden Donald Trump lah, hal semacam ini terjadi.
Mengapa Trump mengambil langkah kebijakan ini? Rupanya ini hanya sekedar tipuan belaka. Karena di balik itu, disinyalir bahwa Trump sangat frustrasi terhadap defisit neraca perdagangan Indonesia – Amerika Serikat.
Karenanya, ekspor Indonesia harus di rem, agar neraca perdagangan AS tidak makin defisit. Volume perdagangan ekspor Indonesia ke AS berada dalam kisaran 10 sampai 12%. Sementara volume perdagangan Indonesia ke Cina mencapai 15%. Demikian dilansir DW News edisi Bahasa Indonesia.
Jika menjadi negara maju, Indonesia tidak dapat lagi potongan rabat ekspor, tidak dapat lagi fasilitas dan subsidi sehingga barang ekspor dari Indonesia harganya akan mahal, tentu publik AS mulai enggan membeli.
Ekspor Indonesia bisa menjadi minus dan tentu saja devisa akan mengalami anjlok bahkan bisa sampai ambyar.
Ada hal yang lebih mengkhawatirkan sebetulnya. Ada dugaan, bahwa AS seperti hendak mengumumkan sinyal perang dagang terhadap Indonesia. Bisa jadi, meskipun sifatnya masih sangat spekulatif. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh hubungan kemitraan dagang antara Indonesia dan Cina yang kini begitu ‘mesra’.
Sejarah pun mencatat kemesraan hubungan dagang Indonesia – AS yang sangat mesra bagaikan Romeo dan Juliet. Presiden Jokowi agaknya menyadari hegemoni AS yang terkadang memang keterlaluan. Beliau melirik untuk bergandengan dan merangkul mesra Cina dalam perdagangan, yang nyatanya juga tidak lebih baik dari AS dan bahkan bisa dispekulasi menimbulkan kecemburuan dan amarah dari AS.
Ada benang merah yang bisa kita tarik dari fenomena tipuan ala AS ini. Bahwa status negara berkembang, negara maju atau apapun itu, di dalamnya selalu ada kepentingan. Inilah bentuk hegemoni AS terhadap perdagangan global. Hegemoni ini sebetulnya, jika kita mau sedikit menyeruak dan kritis, sangat nampak dalam World Trade Organisation alias Organisasi Perdagangan Dunia.
Dalam WTO dikenal apa yang dinamakan GSP atau Generalize System of Preference. Yakni aturan-aturan yang mengikat peserta WTO. Dalam tata aturan inilah hegemoni AS bermain. Negara yang dirasa masih bisa diajak berteman akan diberi preferensi atau keutamaan kemudahan. Jika AS mulai cemburu, AS akan mulai menjalankan aktifitas politisnya dengan cara-cara yang arogan.
Tindakan AS ini dinilai wajar karena AS adalah miniatur sistem ekonomi kapitalis sekuler yang berasaskan manfaat dan mengesampingkan agama.
Korban arogansi AS banyak berjatuhan. Sudah saatnya mengakhiri semua ini. Mencari solusi alternatif untuk menyelamatkan dunia dari cengkeraman negara adi daya.
Solusi terbaik itu hanya ada pada Islam. Selain sebagai agama ritual, Islam memiliki seperangkat aturan yang berasal dari Sang Pencipta. Allah Swt yang Mengatur segala tindak tanduk manusia agar selamat di dunia juga di akherat. Aturan tersebut sesuai dengan apa yang dibutuhkan manusia, karena Allah, Dialah Yang Maha Mengetahui segala permasalahan manusia.
Standar perbuatan dalam Islam adalah hukum syara, bukan manfaat atau adanya kepentingan. Semua dilakukan semata-mata bentuk ketaatan kepada Sang Khaliq, Allah Swt.
Islam memandang negara maju adalah negara yang menerapkan Islam secara kaffah (sempurna). Hal ini terbukti ketika diterapkan di masa Rasulullah dan para khalifah setelahnya selama kurang lebih 1400 tahun. Umat Islam menjadi Khairu Ummah (umat terbaik) dan mencapai kegemilangannya. Pada masa itu, perekonomian negara berdasarkan politik ekonomi Islam.
Terkait pasar bebas, menurut Syekh Abdul Qadim Zallum, tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan negara-negara maju yang memiliki superioritas atas negara-negara berkembang.
Akibatnya, negara-negara berkembang akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain, kebijakan tersebut membuat negara-negara berkembang semakin sulit membangun fondasi ekonomi yang tangguh, sebab mereka terus bergantung kepada negara-negara industri.
Dengan demikian mereka tidak akan pernah bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh. Oleh karena itu, beliau menegaskan haramnya untuk menerima konsep pasar bebas yang dipropagandakan oleh AS dan negara-negara Barat. Di samping secara faktual jelas-jelas merugikan, sejatinya kebijakan tersebut tidak lain merupakan implementasi dari konsep kebebasan memiliki (freedom of ownership), yakni kebebasan untuk memiliki dan menguasai berbagai jenis komoditi.
Di dalam Islam konsep kepemilikan telah diatur dengan jelas. Seseorang individu hanya berhak menguasai barang-barang yang masuk dalam kategori milkiyyah fardiyyah. Sementara untuk kepemilikan umum (milikiyyah ‘ammah) dan kepemilikan negara (milikiyyatu ad-daulah) berada di tangan pemerintah yang dikelola untuk kemaslahatan rakyat. Di samping itu, pasar bebas pada faktanya merupakan alat bagi negara-negara kufur untuk mencengkeram dan mengontrol perekonomian negeri-negeri Islam. Padahal, hal tersebut secara tegas dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلً
“Dan Allah tidak memperkenankan orang-orang Kafir menguasai orang-orang beriman.” (TSQ An-Nisa: 141)
Allah tidak menginginkan kita untuk diatur hidupnya oleh ide dan sistem ekonomi liberal. Allah juga tidak mengizinkan kita untuk dikuasai mereka. Oleh karena itu umat Islam harus menjadi umat yang mandiri, bebas dari segala belenggu negara lain. Tugas untuk mewujudkan pembangunan ekonomi, sebagaimana yang dituntut oleh sistem ekonomi Islam. Jika Indonesia mampu mewujudkan itu, maka keadilan dan kemakmuran ekonomi dunia insya Allah benar-benar akan dapat terwujud. Kemakmuran ekonomi tersebut tidak hanya untuk kepentingan umat Islam saja, melainkan juga untuk yang non-Muslim. Bahkan kemakmuran itu juga untuk segenap makhluk yang di alam semesta ini, atau dengan kata lain adalah untuk rahmat bagi alam semesta.
Allah SWT berfirman :
“Jikalau sekiranya penduduk negri-negri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka yang berkah dari langit dan bumi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, lalu Kami siksa mereka yang ditunggu-tunggu karena permintaannya.” (Al-A’raf [7]: 96). Wallahua’lam. GF/RIN/Group Lapan6