UMKM Butuh Perubahan Sistem

0
30
Eva Arlini, SE/Foto : Ist.

OPINI

“Sayangnya kondisi UMKM semakin terjepit. Pelaku UMKM mengalami tantangan berat terutama di masa pandemi. Sebab diantara sektor ekonomi yang paling terpukul selama pandemi adalah UMKM,”

Oleh : Eva Arlini, SE

BAGI pemerintah, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan pilar terpenting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini karena menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM saat ini cukup besar, yakni mencapai 64,2 juta. Alhasil, UMKM mampu menyumbang Pendapatan Domestik Bruto (PDB) hingga 61, 07 persen atau senilai 8 trilyun lebih. (https://ekon.go.id/05/05/2021)

Kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia meliputi kemampuan menyerap 97% dari total tenaga kerja yang ada, serta dapat menghimpun sampai 60,4% dari total investasi. Sayangnya kondisi UMKM semakin terjepit. Pelaku UMKM mengalami tantangan berat terutama di masa pandemi. Sebab diantara sektor ekonomi yang paling terpukul selama pandemi adalah UMKM. Menurut Asian Development Bank (ADB), dari 64 juta pelaku UMKM, sebanyak 50% terancam gulung tikar. Sementara, sebanyak 88% dinyatakan sudah tidak memiliki tabungan. (https://www.industry.co.id/24/02/20221)

Presiden Komisaris Sea Group, Pandu P Sjahrir menyebutkan ada 3 tantangan utama yang dihadapi pelaku UMKM selama pandemi Covid-19 mewabah di tanah air. Pertama, tentang pasokan. Adanya pembatasan aktivitas selama pandemi dengan berbagai istilahnya telah menyulitkan UMKM memperoleh bahan baku.

Distribusi logistik terganggu, menyebabkan proses pengiriman barang menjadi lama. Kedua, keuangan pelaku UMKM sendiri menjadi terganggu. Pembatasan aktivitas guna penanganan covid – 19 berimbas pada minimnya pelanggan bagi produk UMKM. Pendapatan pun berkurang. Hal ini masih ditambah biaya produksi yang sedikit mahal dan kesulitan dalam hal modal. Ketiga, anjloknya permintaan. Ketidakpastian pasar membuat permintaan akan barang yang dijual oleh para UMKM menjadi berpengaruh. (https://money.kompas.com/02/07/2020)

Dalam catatan Asisten Deputi Pengembangan Kawasan dan Rantai Pasok Kementerian Koperasi dan UKM, Ari Anindya Hartika, UMKM yang mengalami masalah penurunan penjualan yaitu sebanyak 22,90%. Kemudian persoalan distribusi logistik dan ketersediaan bahan baku sebanyak 20,01%. Sedangkan isu permodalan dialami oleh sekitar 19,39%. (https://www.industry.co.id/24/02/2021)

Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah telah menjalankan sejumlah program dukungan UMKM, diantaranya bantuan insentif dan pembiayaan melalui program PEN, Kredit Usaha Rakyat, Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), Digitalisasi pemasaran UMKM, Penguatan Wirausaha Alumni Program Kartu Prakerja Melalui Pembiayaan KUR, dan termasuk pula strategi jangka panjang menaikkan kelas UMKM melalui UU Cipta Kerja. Namun tampaknya kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah tak pernah benar – benar menyentuh hingga ke akar, melainkan hanya solusi tambal sulam yang tak solutif.

Semisal mengenai dorongan pada UMKM untuk memasuki pasar digital. Sementara sebagian besar UMKM terutama di daerah memiliki pengetahuan teknologi yang rendah. Ditambah menurut Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M. Ramli, sebanyak 12.548 desa di Indonesia belum tersentuh oleh sinyal Internet hingga hari ini. (https://mediaindonesia.com/08/05/2021)

Untuk mengatasi kendala tersebut tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan keuangan pemerintah juga sedang terseok – seok di bawah bayang – bayang besarnya utang negara. Membantu UMKM melalui Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) di tengah banjirnya produk impor akibat pasar bebas rasanya juga sia – sia.

Mengandalkan UU Cipta Kerja untuk menaikkan kelas UMKM, sementara undang – undang tersebut bersifat kontroversial. Masih banyak kritik terhadap UU Cipta Kerja. Terkait UMKM, sebagian pihak menilai defenisi UMKM dalam UU Cipta Kerja diperumit, sehingga diragukan efektivitasnya dalam membantu mendorong kemajuan UMKM.

Mengenai pemanfaatan Kredit Usaha Rakyat untuk UMKM, ada yang menarik. Suatu kali Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartanto menyalurkan bantuan tunai pada para pedagang di Medan sembari memotivasi mereka agar mau memanfaatkan program KUR oleh pemerintah. Menurutnya ini bisa memperbaiki kondisi ekonomi para pedagang. Katanya meminjam ke bank lebih baik dari berutang pada rentenir. Namun seorang pedagang ayam penyet yang hadir menjawab, “Takut pak. Takut mati”. (https://sumut.inews.id/09/09/2021)

Pedagang menjawab apa adanya. Mereka merasakan sulitnya barang dagangan laku saat ini. Sebelum ada pandemi saja sudah banyak pebisnis yang merasa diberatkan oleh kredit permodalan dari bank. Tak mampu membayar cicilan bank akhirnya bangkrut, karena keuntungan tak sebanding dengan biaya kebutuhan hidup ditambah membayar cicilan bank.

Jadi pedagang menyadari berurusan dengan utang bank itu menambah masalah. Kalau tak bisa membayar utang sampai mati, urusannya dibawa hingga ke akhirat. Mereka khawatir urusan akhiratnya terganggu dengan utang. Sebenarnya bukan hanya soal utangnya saja, tapi juga riba-nya memperburuk keadaan. Terlibat aktivitas riba menjadi salah satu dosa besar yang pertanggungjawabannya serius kelak. Ya bagus kalau pedagang menolak tawaran KUR itu.

Jadi masalah pokok perekonomian masyarakat termasuk UMKM saat ini sebenarnya kembali pada kegagalan penanganan pandemi. Pandemi berkepanjangan disebabkan karena basis perekonomian negeri kita adalah kapitalisme. Kas negara selalu defisit karena pengelolaan keuangan negara ala kapitalis yang mengandalkan pajak dan utang, namun membiarkan kekayaan dinikmati asing. Padahal banyak pakar menghitung – hitung potensi pendapatan dari kekayaan alam Indonesia yang terhitung cukup besar untuk membiayai APBN.

Karena keuangan negara yang bermasalah, maka sejak awal masuknya covid-19, negara tak berani melakukan karantina wilayah secara total. Penanganan pademi yang penuh keterbatasan dana selanjutnya membuat pandemi semakin berkepanjangan. Hal ini masih ditambah dengan mental kapitalis pejabat pemerintahan.

Misalnya, bisa – bisanya pemerintah menetapkan kebijakan bonus tinggi untuk Wakil Menteri disaat kondisi ekonomi rakyat makin memburuk. Belum lagi terkait konsep pasar bebas ala kapitalis yang membuat produk UMKM kalah saing dengan produk impor. Tentu masih banyak lagi rincian kelemahan – kelemahan sistem kapitalis yang menjadi sebab sulitnya masyarakat memperoleh kesejahteraan secara merata.

Untuk itu sistem kapitalisme yang diterapkan hari ini perlu dikaji ulang, dikritik habis, lalu dilirik sistem alternatif penggantinya.

Sebagai sebuah sistem hidup, Islam digaransi oleh Allah swt mampu membawa kebaikan bagi manusia dan semesta alam sebagaimana bunyi al Quran surat al Anbiya ayat 107. Al Qur’an dan as Sunnah memuat aturan lengkap bagi kehidupan manusia.

Tak hanya tentang ibadah, makanan/ minuman, pakaian dan akhlak. Tetapi juga menyangkut pengaturan tentang politik, pendidikan, pergaulan, ekonomi, kesehatan dan sanksi. Mari pelajari lebih lanjut sistem ekonomi Islam dan sistem Islam lainnya yang solutif. Wallahu a’lam bishawab. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini