OPINI
“Tentunya semua jenis barang akan dikenakan pajak. Imbanya, beban rakyat akan semakin berat dan kesejahteraan makin jauh dari harapan. Sungguh penguasa telah bertindak zalim terhadap rakyatnya,”
Oleh : Herma Maryati
TERUS membengkaknya utang baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri akan membuat pembayaran cicilan pokok dan bunga yang lebih tinggi. Pada 2021 saja, total bunga utang yang harus dibayar, sebesar Rp373,3 triliun.
Bahkan pada 2022, diperkirakan total bunga utang mencapai Rp417,4 triliun. Jumlah pembayaran utang itu mendekati 20 persen dari APBN hampir setara dengan alokasi APBN yang diamanatkan oleh UU untuk pendidikan.
Dengan angka sebesar itu, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang menjadi salah satu alokasi terbesar dalam APBN. Tiap tahunnya, kas negara tersedot untuk bayar utang saja.
Makin besar jumlah utang, jumlah kas yang tersedot untuk pembayaran cicilan utang juga makin besar menghasilkan, kapasitas APBN untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat semakin terbatas.
Jika suatu negara tidak bisa membayar utang, negara tersebut akan kehilangan kepercayaan dari investor. Akibatnya, pasar saham akan kacau, lambat laun hancur. Semua lembaga keuangan akan mengalami kegagalan untuk melakukan antisipasi dalam kondisi ini.
Dampaknya banyak program pendanaan dari pemerintah ke masyarakat yang didanai dari utang akan mengalami kemacetan sehingga tidak ada lagi jaminan untuk masyarakat.
Masyarakat pun akan merasa resah dan berpotensi menimbulkan kekacauan. Para pelaku bisnis akan sulit menjalankan usahanya dan tak sanggup membayar karyawannya. Akibatnya, banyak para pekerja yang di-PHK dan untuk memenuhi kebutuhan akan barang tersebut diantisipasi dengan mengimpor barang dari luar negeri.
Ketika lebih banyak impor daripada ekspor, mata uang semakin lemah. Tindak kriminalitas akan meningkat. Korupsi terjadi. Utang luar negeri semakin menumpuk karena bunga yang terus berjalan. Lantas dari mana sumber pemasukan APBN yang bisa digunakan untuk membayar utang?
Sesungguhnya dalam negeri kapitalis, pajak merupakan sumber pemasukan kas negaranya. Sektor perpajakan masih menjadi sumber penerimaan utama sekitar 86 persen dari total penerimaan atau meningkat dari 10 tahun yang lalu yang masih 66 persen. Ini menunjukkan semakin bergantungnya pemerintah pada rakyatnya.
Dalam sistem kapitalisme yang menerapkan kebijakan ekonomi liberal, pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal, yang dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak.
Maka, cara mudah mendapatkan dana untuk menutupi defisit anggaran negara dan membantu melunasi utang yang membengkak dengan menjadikan pajak sebagai solusi menyelamatkan keuangan negara.
Negara kapitalis-termasuk Indonesia, sulit sekali meninggalkan ketergantungannya pada pendapatan yang berupa pajak. Negara akan terus mengingatkan masyarakat akan kewajiban membayar pajak. Tentunya semua jenis barang akan dikenakan pajak. Imbanya, beban rakyat akan semakin berat dan kesejahteraan makin jauh dari harapan. Sungguh penguasa telah bertindak zalim terhadap rakyatnya.
Namun, berbeda halnya dengan sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islam). Khilafah akan menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk ekonomi dan penyusunan anggaran pembelanjaan negara (APBN).
Sistem keuangan negara dalam Islam selama beberapa abad terbukti berhasil mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi Muslim dan non Muslim. APBN dikelola oleh baitul mal yakni badan khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang berhak menerimanya.
Dalam kitab Al-Amwal, karya Abdul Qadim Zallum, baitul mal terdiri dari dua bagian pokok yakni :
Pertama, berkaitan dengan harta yang masuk ke baitul mal dan seluruh jenis harta yang menjadi sumber pemasukannya. Harta yang masuk ke baitul mal (pos-pos pendapatan) terdiri dari tiga pos pemasukan utama, yakni fa’i dan kharaj, kepemilikan umum dan sedekah.
Kedua, terkait harta yang dibelanjakan dan seluruh jenis harta yang harus dibelanjakan. Ada beberapa seksi dan biro yaitu seksi dar al–Khilafah, seksi mashalih ad-daulah dan seksi santunan, semuanya memperoleh subsidi dari badan fa’i dan kharaj.
Seksi jihad yakni biro pasukan, biro persenjataan dan biro industri militer dibiayai dari baitul mal. Seksi penyimpanan harta zakat dibiayai dari pendapatan zakat. Seksi penyimpanan harta kepemilikan umum dibiayai dari pendapatan kepemilikan umum berdasarkan yang diadopsi khalifah.
Seksi urusan darurat/bencana alam dibiayai dari fa’i dan kharaj serta dari kepemilikan umum. Ketika pos-pos tersebut kosong, biaya diambil dari harta kaum Muslim yang bersifat sumbangan sukarela dan dharibah. Seksi anggaran belanja negara, pengendali umum dan badan pengawas dibiayai dari fa’i dan kharaj.
Semua itu pos-pos pendapatan dan belanja dalam baitul mal. Pendanaan yang bebas utang akan menjadikan seluruh kebijakannya independen. Ditambah karakter penguasa yang amanah, akan mampu menetapkan kebijakan yang pro rakyat. Sehingga dananya tidak akan bertumpu pada pajak. Pemerintah pun berfungsi sebagai penjamin kebutuhan umat sehingga mampu menciptakan masyarakat yang makmur dan sejahtera.
Semua ini akan terwujud jika sistem pemerintahan negeri ini berlandaskan syariat Islam, yaitu Khilafah Islam agar negara kita bisa terbebas dari utang piutang ribawi yang menghancurkan kita di dunia dan akhirat. [*]
*Penulis Adalah Muslimah Pembelajar di Kota Depok