“Setelah ikut pengajian, ternyata memang ada hadisnya yang menjelaskan itu dan hadisnya valid kita ikutin,”
Jakarta, Lapan6online.com : SEJUMLAH Aparatur Sipil Negara (ASN) di Aceh dan Banten mengatakan tidak setuju dengan wacana pelarangan celana cingkrang dan cadar di lingkungan kantor pemerintah, seperti diusulkan Menteri Agama Fachrul Razi.
“Jika harus memilih antara [menjadi] Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan cadar, maka saya memilih menggunakan cadar,” kata Meiriana, seorang ASN di Aceh kepada Hidayatullah, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, hari Jumat (01/11).
“Ini merupakan sunah Rasul, dan saya sudah menggunakan cadar selama lebih dari 10 tahun,” tambah Meiriana.
Staf Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Banda Aceh ini mengatakan penggunaan pakaian seperti cadar dan celana cingkrang merupakan pilihan dan dipakai untuk memenuhi ajaran agama. Ia mengatakan “tidak ada hubungan antara pakaian dan keamanan nasional”.
“Masalah radikalisme adalah masalah ideologi, bukan masalah cadar atau celana cingkrang. Jadi saya mengecam pernyataan menteri agama,” kata Meiriana.
Marzuki, ASN di Dinas Satpol Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (WH) — lembaga yang mengawasi pelaksanaan syariat Islam — Provinsi Aceh, mengatakan tidak ada kaitan antara celana cingkrang dan radikalisme atau keamanan nasional. Ini semata-mata, katanya, karena sunah Rasul dan dianjurkan oleh agama.
“Orang-orang radikal itu yang bermasalah adalah ideologinya bukan pakaiannya. Menggunakan celana cingkrang memudahkan kita menjaga pakaian dari najis,” kata Marzuki, ASN yang menggunakan celana cingkrang.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Faisal Ali, mengatakan hukum dibuat dari rakyat dan untuk rakyat, jadi segala sesuatu butuh diteliti dan diskusi yang baik, sebab celana cingkrang dan penggunaan cadar tersebut tidak ada urusan dengan keamanan nasional.
“Dalam sudut pandang apa pun, tidak ada hubungan antara pakaian dan keamanan sosial, jadi sebelum melemparkan isu ke publik, lebih baik dibicarakan terlebih dahulu dan diteliti,” kata Faisal Ali.
Pemerintah di Kabupaten Aceh Besar menilai jika larangan cadar dan celana cingkrang resmi menjadi peraturan, maka “larangan tersebut tidak layak dipatuhi, karena pakaian adalah ranah personal”.
‘Masih pikir-pikir’
Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mendukung penggunaan busana yang sesuai syariat dan sunah Rasul. “Jangan timbulkan masalah baru, masih banyak tugas lain yang harus kita selesaikan seperti mengatasi narkoba di Aceh dan pergaulan bebas, jadi soal cadar ini jangan jadi masalah baru,” kata Wakil Bupati Aceh Besar, Husaini.
Pada 2018 Pemerintah Kabupaten Aceh Barat mengeluarkan peraturan pelarangan menggunakan celana bagi wanita yang datang kekantor pemerintahan. Aturan ini sempat menjadi kontroversi di masyarakat karena sebagian kalangan menilainya tidak relevan.
Di Provinsi Banten, Didi Sohidi Tohir, seorang ASN, mengatakan ia memakai celana cingkrang sejak 2016 setelah mendengarkan pengajian tentang aturan berbusana bagi Muslim.
“Setelah ikut pengajian, ternyata memang ada hadisnya yang menjelaskan itu dan hadisnya valid kita ikutin,” ujar Didi kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Staf biro hukum di Pemprov Banten ini mengatakan pakaian yang ia kenakan tak berpengaruh terhadap kinerjanya. Malah ia mengklaim, orang-orang yang berpakaian sama sepertinya lebih giat bekerja.
“Di Pemprov Banten banyak yang berpakaian seperti saya dan itu nggak ada masalah. Justru kami menjaga banget kinerja dan gimana kita bersikap dengan orang lain,” imbuhnya.
“Orang [yang memakai celana] cingkrang, justru akhlaknya bagus. Jangankan menyakiti orang lain, menyakiti binatang saja nggak dilakukan.”
Didi mengatakan tak habis pikir dengan rencana Menteri Agama Fachrul Razi yang dilaporkan bakal melarang penggunaan cadar dan celana cingkrang “demi untuk menangkal radikalisme”.
Jika nantinya ASN tak dibolehkan memakai celana cingkrang dan cadar di lingkungan kantor-kantor pemerintah, Dedi mengatakan belum bisa bersikap apakah akan keluar dari instutisi pemerintahan. Yang pasti, katanya, ia tidak akan mengubah cara berpakaian.
Wacana larangan penggunaan niqab atau cadar pertama kali mencuat ketika Menteri Agama, Fachrul Razi, berbicara di acara Lokakarya Peningkatan Peran dan Fungsi Imam Tetap Masjid di Hotel Best Western, Jakarta.
Ia mengatakan, pelarangan itu demi “alasan keamanan” menyusul insiden penyerangan yang menimpa mantan Menkopolhukam, Wiranto.
“Kita tidak melarang niqab, tapi melarang untuk masuk instansi pemerintah demi alasan keamanan. Apalagi kejadian Pak Wiranto yang lalu,” ujarnya.
Mantan Wakil Panglima TNI ini juga menilai penggunaan cadar di Indonesia keliru lantaran menganggapnya sebagai indikator keimanan dan ketakwaan. Ia mengatakan kebiasaan menggunakan cadar berasal dari Arab Saudi bukan Indonesia.
Sehari setelahnya, Fachrul Razi menyinggung penggunaan celana di atas mata kaki atau dikenal dengan sebutan celana cingkrang di kalangan pegawai negeri sipil. Baginya celana tersebut tidak sesuai aturan berseragam di institusi pemerintah. Dia pun mempersilakan PNS yang tidak mengikuti aturan itu agar keluar.
“Masalah celana cingkrang tidak dilarang dari aspek agama, tapi dari aturan pegawai bisa, misal ditegur.”
Kementerian Agama menyatakan akan mengatur pemakaian cadar dan celana cingkrang bagi ASN di institusi pemerintahan dan juga lembaga pendidikan untuk apa yang disebut “menangkal radikalisme”.
Meski tak secara jelas menyebut kaitan antara cadar dan celana cingkrang dengan paham radikal, ia meminta semua kementerian satu suara melarang gerakan radikal di lembaga pemerintah.
Sejauh ini kata juru bicara Kementerian Agama, Ali Rokhmat, kajian tentang pemakaian cadar dan celana cingkrang belum final. Untuk mematangkannya, kementerian akan mengundang ulama serta tokoh agama.
Kendati demikian, kementerian belum memiliki data terkait seberapa banyak aparatur negara yang menggunakan cadar atau bercelana cingkrang serta bagaimana hal itu berdampak terhadap perilaku mereka.
“Selama ini belum dilakukan deteksi secara khusus, karena itu kan hak pribadi. Selama tidak menganggu stabilitas atau tugasnya. Kalau di kantor mau pakai pakaian sopan atau tidak berefek buruk, kan tidak jadi persoalan,” ujar Ali Rokhmat.
Hanya saja, menurut Ali Rokhmat, ketika seorang aparatur negara mengenakan cadar dan kerjanya berhubungan dengan orang banyak, maka hal itu patut dikritisi.
Ia mencontohkan seorang dosen atau guru yang harus berkomunikasi tatap muka dengan anak didiknya. Cadar, katanya, disebut bakal mengurangi “kebebasan hak berkomunikasi”.
“Misal dia dosen, kemudian dia mengajar pakai cadar, apakah menganggu atau mengurangi kebebasan hak berkomunikasi orang lain? Itu mungkin akan diatur secara khusus seperti di perguruan tinggi,” katanya.
Karena itulah, aturan yang melarang cadar atau celana cingkrang tidak hanya berlaku di lembaga pemerintahan saja tapi juga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi. “Orang kan nggak bisa mendengar suara saja, tapi mimiknya, sikap tubuh punya makna dalam komunikasi.”
Menteri ‘tak punya kompetensi bicara ajaran agama’
Sekjen Majelis Ulama Indonesia, Anwar Abbas, menyarankan Kementerian Agama tak mengurusi persoalan pemakaian busana cadar atau celana cingkrang bagi aparatur negara.
Sebab kendati ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal itu, tapi Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 mengharuskan pemerintah menjamin kemerdekaan warganya memeluk agama dan beribadah sesuai kepercayaannya.
Ia khawatir jika pemerintah sampai melarang aparatur negara menggunakan cadar atau celana cingkrang akan timbul kegaduhan.
“Memakai cadar itu termasuk furu’iyah. Di situ bisa beda pendapat. Sikap MUI dalam hal furu’iyah harus menjunjung tinggi sikap toleransi. Jadi kita harus saling menghormati. Orang yang pakai cadar menghormati yang tidak pakai cadar. Begitu juga sebaliknya. Termasuk yang memakai celana cingkrang,” kata Abbas.
“Nah sekarang ada mau dibatasi di instansi pemerintah, tapi menurut Pasal 29 UUD 1945 negara harus melindungi. Jadi jangan sampai pemerintah membuat aturan yang bertentangan dengan UUD.”
Menurut Abbas, agar tidak timbul penolakan, Kementerian Agama diminta berdialog terlebih dahulu dengan tokoh agama sebelum menerbitkan aturan.
Baginya Menteri Fachrul Razi yang berlatar belakang tentara “tak memiliki kompetensi yang cukup untuk mengambil keputusan tentang ajaran beragama”.
“Menurut saya menteri nggak punya kompetensi bicara itu. Dia itu jenderal. Ibarat dokter kalau ada yang sakit, jangan insinyur yang menyelesaikan, panggil dokter,” ujarnya.
“Dia latar belakangnya pertahanan keamanan, bukan agama. Dia nggak punya hak secara kedisiplinan tapi bisa membuat keputusan tentang substansi ajaran agama dengan bertanya kepada ulama.”
Lebih jauh, Abbas menilai jika alasan keamanan yang digunakan menteri agama sehingga melarang cadar dan celana cingkrang, dalih itu kurang tepat. Pemerintah bisa mengantisipasi kejadian serupa dengan bantuan intelijen ataupun teknologi.
“Sekarang sudah zaman teknologi, kalau zaman baheula, saya paham. Kenapa nggak pakai teknologi? Kan kita ada uang untuk beli alat dan teknologi. Sehingga hal-hal yang kita takutkan, tidak terjadi,” katanya.
(bbc news indonesia)