Marullah – Syamsul Adu Kuat, Siapa Terbaik Pimpin PWNU DKI?

0
39
putaran ketiga dalam Konferensi Wilayah (Konferwil) XX PWNU DKI Jakarta, telah menyisahkan dua (2) kandidat terpilih, KH. Syamsul Maarif sebagai incumbent dan KH. Marullah Matali
“NU menjadi jembatan yang menghubungkan pemerintah dengan umat Islam. Hal ini ditunjukan saat Presiden Soekarno meminta fatwa jihad kepada KH Hasyim Asy’ari awal revolusi,”

Lapan6Online | JAKARTA : Masuk putaran ketiga dalam Konferensi Wilayah (Konferwil) XX PWNU DKI Jakarta, telah menyisahkan dua (2) kandidat terpilih, KH. Syamsul Maarif sebagai incumbent dan KH. Marullah Matali dari kalangan Birokrat.

Sebelumnya ada 13 bakal calon Ketua Tanfidz PWNU DKI Jakarta yang meramaikan ajang pemilihan ketua PWNU untuk periode 2021 – 2026 mendatang. Perrtarungan 13 balon ini harus lulus sidang paripurna tahap pertama dulu, dimana ke-13 bakal calon tersebut yakni: 1. KH Samsul Ma’arif (petahana); 2. KH Marullah Matali (Sekda DKI); 3. KH Jazilul Fawaid (Wakil Ketua MPR); 4. H Nusron Wahid; 5. KH Tatang Hidayat; 6. KH Zainal Arifin Naim; 7. Habib Salim bin Jindan; 8. H Syarif; 9. KH Fauzan Harun; 10. KH Aziz Kafiah; 11. KH Ahmad Zahari; 12. KH Taufik Damas dan 13. KH Budi Kasan Besari Adinegoro.

Banyak pihak dari berbagai unsur elemen masyarakat mengunggulkan sosok wajah baru dari kalangan birokrat, Marullah Matali menjadi pilihan yang tepat, hal itu dapat dilihat dari profil dan backgroundnya yang dapat diperhitungkan.

Terlebih dikatakan pengamat kebijakan publik Amir Hamzah, hubungan emosional yang baik antara Marullah Matali dengan Anggota Dewan Presiden (Wantimpres) Habib Luthfi bin Yahya dan KH Said Aqil Siradj dapat memberikan sinyal untuk terpilihnya Marullah menjadi ketua PWNU DKI Jakarta.

“Hubungan baik Marullah dengan Habib Luthfi dan KH Said Aqil Siradj bisa mengantarkan Sekda DKI itu menjadi Ketua PWNU DKI Jakarta, “kata Amir Hamzah kepada wartawan, pada Sabtu (3/4/2021) sore kemarin.

Jika Marullah terpilih menjadi Ketua PWNU DKI, kata Amir, akan membawa NU ke arah yang lebih maju, baik dalam hubungannya dengan Pemprov DKI Jakarta karena sebagai ibukota negara. “Disini terlihat paradigma ke-Indonesiaan yang lebih luas dalam arti membangun bhineka tunggal ika, membangunan komunikasi internal NU dan eksternal, terlebih lagi menjaga keseimbangan antara NU struktural dan NU kultural yang semakin majemuk, “jelasnya.

Amir mengapresiasi politikus PKB KH Jazilul Fawaid yang mundur dari bursa calon ketua PWNU DKI. “Ini menunjukkan sikap kedewasaan dan ketaatan seorang Nahdliyin terhadap peraturan yang berlaku sebagimana termaktub dalam ayat 4 dan 5 pasal 51 Bab 16 AD/ART NU. ” ungkapnya.

Lebih rinci kata Amir, bakal calon yang secara nyata masih pengurus partai politik, ketua wakil ketua atau lainnya yang mewakili lembaga politik seperti politisi MPR, DPR dan DPRD sebaiknya segera mengundurkan diri.

“Hal ini dilakukan agar pencalonan yang bertentangam AD/ART tidak menimbulkan konflik dalam proses pemilihan diputaran terakhir yang jatuh pada hari Minggu (4/4/2021). Jika para bakal calon dari golongan politisi secara sadar dan jujur mengundurkan diri, saya yakin proses pemilihan ketua tanfidziyah bakal mulus, “ulas Amir.

NU menjadi jembatan yang menghubungkan pemerintah dengan umat Islam. Hal ini ditunjukan saat Presiden Soekarno meminta fatwa jihad kepada KH Hasyim Asy’ari awal revolusi. Inilah awal sejarah NU tidak mengenal sikap berseberangan dengan pemerintah.

“NU jadi lembaga yang mendukung kebijakan pemerintah, walau sering mendapat respon yang kurang sepadan dari lingkungan Aswaja Kultural. Hal inilah yang harus dipikirkan Ketua Tanfidziyah dan Ketua Syuriyah PWNU DKI kedepan dan jangan sampai memposisikan sebagai pendukung pemerintah tapi eksistensi dan kebijakannya justru mencubit rasa keadilan warga Nahdliyin sendiri, “ujarnya. [*Red]

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini