Fenomena Generasi Parricide dari Sistem Sekulerisme

0
31
Nidya Lassari Nusantara /Foto : Ist.

OPINI

“Hal ini menciptakan karakter minim akhlak dan mudah emosi. Berbagai macam keburukan yang menimpa anak-anak negeri ini muncul sebagai akibat penerapan sistem hidup sekuler yang melahirkan nilai-nilai hidup yang salah di masyarakat,”

Oleh : Nidya Lassari Nusantara

DALAM psikologi, istilah “parracide” secara teknis merujuk pada pembunuhan kerabat dekat. Istilah ini semakin dikenal publik saat berkaitan dengan kasus pembunuhan anak terhadap orang tua kandung: ayah (patricide) atau ibu (matricide). Istilah ini merujuk pada buku Understanding Parricide: When Sons and Daughters Kill Parents (2013) yang ditulis Kathleen M. Heide.

Keberadaan kasus parricide sudah ada sejak lama dan semakin berkembang sesuai perkembangan zaman. Di Indonesia, kasus anak membunuh kerabat tiap tahun terus meningkat. Seperti baru-baru ini terjadi di Lebak bulus, Jakarta.

Seorang anak berusia 14 tahun, membunuh ayah dan neneknya. Juga menikam ibu kandungnya. Sebelumya juga ada kasus serupa di tahun 2024 ini juga. Seorang pemuda berusia 33 tahun membunuh ibu kandungnya di Medan, Sumatera Utara. Menurut psikolog bersertifikat dari India, dr. Nisha Khanna, ada banyak alasan yang dapat menyebabkan seorang anak membunuh orang tuanya.

Alasan yang paling umum adalah lingkungan keluarga yang penuh kekerasan. Orang tua terkadang tanpa sadar mengganggu kesejahteraan anak melalui perilaku abusif, ketidakhadiran, tekanan emosional, hingga pola asuh yang terlalu dominan dan merendahkan anak.

Maraknya kasus Parricide akibat sistem sekuler yang diterapkan saat ini. Sistem ini memisahkan manusia dari aturan Sang Pencipta. Hal ini menciptakan karakter minim akhlak dan mudah emosi. Berbagai macam keburukan yang menimpa anak-anak negeri ini muncul sebagai akibat penerapan sistem hidup sekuler yang melahirkan nilai-nilai hidup yang salah di masyarakat.

Pelaku kekerasan seksual pada anak yang mayoritasnya adalah orang dekat korban menggambarkan masyarakat yang sakit. Kebebasan yang diagungkan sistem ini menjadi racun mematikan bagi akal dan naluri hingga seorang anak tega menghabisi nyawa orang-orang yang melahirkannya, membesarkannya dari dalam kandungan dengan begitu sadis. Ketika pemahaman agama tidak menjadi standar, maka yang utama hanya hawa nafsu membabi buta.

Anak adalah anugerah dan titipan Allah SWT. Dalam Islam, tugas dan kewajiban anak hanya berbakti kepada orang tua. Doa anak Solih menjadi amalan tidak terputus di saat orang tua sudah meninggal dunia. Anak yang menyejukkan mata dan pemimpin orang-orang bertakwa menjadi cita-cita setiap orang tua. Maka, sangat tidak mungkin semua hal ini didapat dalam sistem sekuler. Islam mempunyai beberapa hal sehingga anak Solih, berbakti dan berguna bagi nusa dan bangsa.

Menjadikan Hukum Syariah sebagai Pijakan
Setiap anggota keluarga Muslim wajib memahami dan mengamalkan hukum-hukum syariah yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Karena itu penting bagi setiap anggota keluarga membina diri dengan tsaqafah Islam sehingga menjadikan halal-haram sebagai standar kehidupan.

Membina diri dan keluarga dengan Islam secara keseluruhan juga mendakwahkan Islam secara sempurna.

Mengkaji Islam secara intensif menjadi hal penting dalam keluarga. Mulai dari ayah-bunda yang aktif untuk terus mengkaji Islam dan menanamkan ideologi Islam sejak dini kepada anak-anaknya agar tidak terjebak pada ideologi selain Islam yang dikemas sangat apik oleh musuh-musuh Islam. Maka menjadi bagian dari jamaah dakwah adalah hal penting dalam keluarga.

Membiasakan anak menghadiri majelis ilmu hingga mereka paham Islam kaffah yang menanamkan ideologi Islam sejak dini kepada anak-anak agar tidak terjebak pada ideologi selain Islam yang dikemas sangat apik oleh musuh-musuh Islam.

Maka menjadi bagian dari jamaah dakwah adalah hal penting dalam keluarga.
Upaya mewujudkan keluarga yang tenteram dan bahagia membutuhkan adanya peran sistem yang mendukung. Khilafah Islamiyah yang dipimpin oleh seorang khalifah adalah junnah atau perisai. Layaknya perisai, ia bertanggungjawab sepenuhnya dalam melindungi rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Negara atau Khalifah harus bisa menjadi junnah bagi orang yang dia pimpin. Artinya, ia harus bisa melindungi rakyatnya, termasuk anak-anak. Anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon pejuang dan calon generasi terbaik. Seperti Imam Syafi’i ahli hadis dan Mazhab, Muhammad Al Fatih penakluk konstantinopel di usia 21 tahun. Ada juga kisah anak berbakti bernama Uwais Al-Qarni bukan pemuda terkenal, dia miskin dan memiliki penyakit kulit. Namun, ia pernah disebut Rasulullah SAW sebagai pemuda yang sangat dicintai Allah dan terkenal di langit.

“Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama dengan pasukan bantuan dari bani Murad, kemudian dari Qarn. Ia adalah orang yang menderita penyakit kusta, lalu penyakitnya sembuh, kecuali tempat seluas mata uang dirham.” “Ia adalah orang yang sangat berbakti kepada ibunya. Jika kamu bisa memintanya untuk memohon ampunan untukmu, maka lakukanlah!”

Ia memenuhi permintaan sang ibu dengan menggendong ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Dalam Khilafah, jangankan nyawa dan kehormatan manusia, nasib seekor keledai pun amat diperhatikan oleh pemimpin. Ini sebagaimana perkataan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. yang masyhur, “Jika ada anak domba mati sia-sia di tepi sungai Eufrat (di Irak), sungguh aku takut Allah akan menanyaiku tentang hal itu.” Karena itu keberadaan Khilafah merupakan hal yang utama. Saatnya segala kenestapaan anak-anak di dunia ini harus berakhir. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. (**)

*Penulis Adalah Pendakwah dan Ibu Rumah Tangga