OPINI
“listrik menjadi salah satu komponen biaya hidup masyarakat, baik invidu maupun pengusaha yang cukup memberatkan. Karena tarif listrik naik terus. Meski rencana kenaikan biaya tarif listrik pada Juli 2021 lalu batal,”
Oleh : Eva Arlini, SE
TAK lama lagi Hari Listrik Nasional akan diperingati. Tepatnya pada 27 Oktober 2021. Untuk itu PLN membuat satu agenda berupa promo Super Dahsyat Hari Listrik Nasional, berlaku mulai 1 hingga 31 Oktober 2021. Dengan promo ini, pelanggan PLN berpeluang mendapat potongan harga jika menambah daya listrik. Harga yang ditawarkan yakni Rp202.100.
Harga spesial tersebut berlaku untuk biaya penyambungan pada layanan tambah daya bagi pelanggan tegangan rendah 1 phasa daya 450 VA – 4.400 VA untuk semua golongan tarif yang mengajukan permohonan penambahan daya akhir sampai dengan daya 5.500 VA. (https://medan.tribunnews.com/2021/10/05)
Biaya normal untuk tambah daya berkisar antara 400 ribu hingga 3 juta-an. Pihak PLN menyebutkan bahwa promo itu dibuat sebagai bentuk kepedulian PLN bagi semua pelanggan. Apalagi PLN juga sedang aktif ikut mendorong para UMKM dan petani yang hendak meningkatkan usahanya dengan beralih ke listrik.
Alasan yang dipakai PLN dalam promo tersebut tak lebih dari sekedar bahasa marketing. Promo diskon biaya tambah daya sudah pernah dilakukan oleh PLN pada hari-hari besar seperti lebaran dan peringatan hari kemerdekaan. Kalau ditanya tujuannya, pasti dikatakan sebagai bentuk kepedulian pada pelanggan.
Namun yang namanya bisnis, tentu tujuan utamanya adalah cari untung. PLN juga sama, menawarkan produknya untuk keuntungan. Kalau pelanggan menaikkan daya listriknya, tentu tarif listrik yang harus mereka bayar pun ikut naik. Artinya pendapatan PLN juga ikut naik.
Selama ini, listrik menjadi salah satu komponen biaya hidup masyarakat, baik invidu maupun pengusaha yang cukup memberatkan. Karena tarif listrik naik terus. Meski rencana kenaikan biaya tarif listrik pada Juli 2021 lalu batal, namun sebelumnya tarif listrik sudah naik beberapa kali. Bisa jadi masyarakat lebih memilih opsi berhemat ketimbang menambah pemakaian listrik mereka.
Terlebih kondisi kehidupan masyarakat semakin terpuruk di masa pandemi saat ini, dimana angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin tinggi. Kondisi UMKM juga sangat terpukul dengan menurunnya daya beli masyarakat di masa pandemi. Maka untuk menarik minat mereka menambah daya listrik, PLN harus bermanis kata.
Lebih dari itu, PLN membutuhkan konsumen lebih banyak lagi sebenarnya karena permasalahan surplus suplai listrik. Semua dimulai dari mega proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt yang diluncurkan pada 2015 lalu. Mantan Menteri Koodinator dan Sumber Daya Rizal Ramli pernah mengingatkan potensi kerugian yang akan dialami PLN jika proyek tersebut dijalankan.
Menurut Rizal saat itu, akan ada beban kelebihan kapasitas yang harus dibeli PLN, meski kapasitas itu tak terpakai. (https://indonews.id/03/10/2020)
Namun Presiden Jokowi tetap ngotot melanjutkan mega proyek itu dengan alasan mengatasi ancaman krisis listrik (https://ekbis.sindonews.com/10/06/2016)
Kini PLN mesti melakukan berbagai program pemasaran agresif untuk mengoptimalkan penyerapan listrik oleh konsumen. Selain konsumen rumah tangga dan UMKM serta petani dan nelayan, PLN juga menyasar kelompok industri yang selama ini memiliki listrik sendiri, memaksimalkan program elektrifikasi dan lain sebagainya. Bahkan ada pembicaraan ke arah ekspor listrik. (https://iesr.or.id/i/05/03/2021)
Kalau Peduli, Ringankan Beban Rakyat
Masyarakat sudah pasti senang dipedulikan. Siapa yang tak suka urusannya diringankan. Tapi yang diharapkan oleh rakyat dari PLN bukan sekedar biaya tambah daya listrik yang murah, tapi biaya pemakaian listrik sehari-hari mereka yang murah. Apalagi kalau gratis, lebih senang lagi. Hal itu yang benar-benar dikatakan meringankan beban rakyat. Bisakah PLN memenuhi harapan masyarakat?
Rasanya bagai pungguk merindukan bulan, hari gini minta gratisan, mana bisa. Ya, hal itu hampir-hampir kita katakan tidak mungkin. Sebab utamanya adalah karena pengelolaan kekayaan alam termasuk energi menggunakan sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme berlaku liberalisme ekonomi. Liberalisasi sektor kelistrikan semakin tegas tampak pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Kelistrikan.
Pengamat Ekonomi Politik Salamuddin Daeng pernah menjelaskan, bahwa semangat undang-undang kelistrikan tersebut adalah melakukan liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Undang-undang tersebut menurutnya hanya merupakan pengulangan dari UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan yang sebelumnya dibatalkan MK. (https://www.mkri.id/ 07/04/2016)
Kedepannya, Dikrektur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan akan ditingkatkan dalam proyek pembangunan pembangkit listrik di negeri kita.
Dalam pelaksanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, partisipasi swasta sebesar 64,8 persen dari total pembangkit listrik 40,6 gigawatt yang akan dibangun (https://lampung.antaranews.com/07/10/2021)
Secara umum, pasca reformasi Indonesia memang telah berubah secara fundamental menjadi negara kapitalisme liberal berasas sekuler. Pemerintah telah membuka kran seluas-luasnya bagi masuknya investor asing. Tak hanya UU Kelistrikan, tapi ada UU Migas, UU Minerba, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal dan lain-lain yang memberi keleluasaan swasta untuk menguasasi berbagai sektor yang berhubungan dengan kepentingan publik.
Tak heran, perlahan tapi pasti peran swasta dalam urusan pelayanan publik seperti listrik semakin menguat. Kita akan terus digiring kepada penyempurnaan liberalisasi ekonomi. Pertanda ke depannya hidup masyarakat akan semakin susah, salah satunya karena tarif listrik akan naik terus.
Jadi jika masalahnya sistem kapitalisme, maka harusnya mewujudkan kepedulian pada masyarakat adalah dengan mengganti sistem. Ada sistem ekonomi Islam yang mampu menghasilkan kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat. Dijelaskan dalam kitab Nizhamul Iqtishady karya Syekh Taqiyuddin An Nabhani, bahwa kekayaan alam yang jumlahnya melimpah seperti minyak, batu bara, laut, hutan dan lainnya tergolong ke dalam kepemilikan umum.
Salah satu pelayanan publik yang dihasilkan dari sumber daya energi adalah listrik. Maka menurut hukum Islam, listrik merupakan kepemilikan umum yang haram untuk diliberalisasi, diprivatisasi dan dikomersialisasi.
Rasulullah Saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (hutan), air (laut dan sungai), dan api (energi).” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Abyadh bin Hammal ra. bercerita, ia pernah datang kepada Rasulullah Saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Beliau memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.” Ia berkata, Rasul lalu menariknya dari Abyadh bin Hammal. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, dll).
Sebagai kepemilikan umum, maka menjadi tanggung jawab negara untuk sepenuhnya mengelola kekayaan alam, hingga hasilnya dapat dinikmati seluruh rakyat secara gratis. Bisa dipastikan sistem ekonomi Islam menutup rapat pintu masuk penguasaan para kapitalis terhadap kebutuhan publik seperti listrik.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa sistem ekonomi Islam tak bisa bersanding dengan asas sekulerisme yang melahirkan kapitalisme. Sistem ekonomi Islam hanya dapat dijalankan jika negara berasaskan akidah Islam dan menjalankan sistem Islam lainnya dalam bingkai pemerintahan Islam yakni khilafah. Wallahu a’lam bishawab. (*)