OPINI | POLITIK | MANCANEGARA
“Penolakan terhadap fatwa yang dikeluarkan IUMS segera terjadi dan disampaikan oleh mufti besar Mesir yang menyatakan bahwa tidak ada individu ataupun kelompok yang berhak untuk mengeluarkan fatwa terkait masalah-masalah kritis dan sensitive karena dianggap melanggar prinsip syariah dan tujuan yang lebih tinggi,”
Oleh : Syiria Sholikhah
MASIH dalam hangat suasana Hari Raya, umat muslim seperti mendapatkan angin segar dari ulama internasional yang mengeluarkan fatwa wajibnya jihad untuk melawan Israel, di tengah bara api serangan Israel terhadap wilayah Gaza yang terus digempurkan selama Ramadan bahkan saat shalat Ied tanggal 30 Maret 2025.
Pada 4 Maret 2025, Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional atau IUMS mengeluarkan fatwa yang berisi seruan kepada seluruh negara Muslim untuk turut campur tangan terhadap kejahatan pemusnahan entitas atau genosida di Gaza dengan bantuan militer, ekonomi, dan politik.
Serta larangan tegas mendukung penjajah (Israel dan sekutunya) dalam bentuk apapun (SindoNews, 05/04/2025). Seruan dan fatwa kewajiban boikot terhadap Israel melalui berbagai arah seperti blockade jalur laut, udara, dan udara. IUMS juga mendorong negara-negara Muslim untuk meninjau kembali perjanjian damai dengan Israel (Merdeka.com, 05/04/2025).
Penolakan terhadap fatwa yang dikeluarkan IUMS segera terjadi dan disampaikan oleh mufti besar Mesir yang menyatakan bahwa tidak ada individu ataupun kelompok yang berhak untuk mengeluarkan fatwa terkait masalah-masalah kritis dan sensitive karena dianggap melanggar prinsip syariah dan tujuan yang lebih tinggi, ia juga menyatakan bahwa tindakan tersebut (yang dilakukan IUMS) dapat membahayakan masyarakat dan stabilitas negeri-negeri Muslim (CNNIndonesia, 09/04/2025).
Fatwa tersebut muncul setelah puluhan tahun Gaza dan Palestina dijajah oleh Israel, bahkan setelah fatwa tersebut muncul masih terdapat penolakan yang disampaikan secara tegas dan nyata.
Fatwa tersebut muncul tak lama setelah pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahwa ia ingin menyelesaikan konflik yang terjadi dengan keinginannya membersihkan wilayah Gaza. Penolakan yang terjadi juga muncul demi menjaga negara masing-masing supaya tidak mendapatkan masalah dengan melawan Amerika Serikat yang dianggap sebagai negara adidaya. Alasan tersebut dapat dinilai sangat nasionalis.
Nation state atau sekat nasionalisme tersebut nyata menjadi penghalang terbesar negeri-negeri muslim untuk bersatu dan melawan Israel demi menyelamatkan Gaza dan Palestina. Nation state merupakan senjata yang diciptakan oleh Barat untuk memecah belah kaum muslimin, padahal umat muslim adalah satu tubuh sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wasallam di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan merasakan sakit.”
Sangat jelas bahwa nation state bertentangan dengan Islam, nation state akan menghalangi umat muslim untuk saling tolong menolong kecuali hanya dalam batas wilayah tertentu yang ditentukan oleh nation state itu sendiri, sungguh ironis.
Saudara kita di Gaza dan Palestina sering memanggil untuk pertolongan yang bukan hanya sekedar kecaman, dukungan kemanusiaan seperti makanan dan air, melainkan lebih dari itu yang mereka butuhkan dan lebih dari itu yang mereka inginkan dari panggilan mereka. Tak jarang beberapa penduduk Gaza maupun Palestina berdoa supaya syafaat Nabi tidak diberikan kepada mereka (umat muslim) yang diam akan apa yang terjadi pada mereka di Gaza dan Palestina, tidakkah hal ini membuat kita merinding?
Lantas bagaimana dengan orang yang memiliki kekuasaan dan kekuataan yang seharusnya bisa menjadi penolong bagi mereka? Seharusnya mereka lebih takut akan hari penghisaban.
Segala metode dan upaya telah dicoba dan dilakukan oleh Internasional untuk menghentikan kejahatan penjajahan atas bumi Gaza dan Palestina, namun adakah satu dari semuanya berhasil?
Nyatanya tidak! Bahkan fatwa saja tidak cukup untuk menghentikan kejahatan yang dilakukan oleh Israel, harus ada bukti dan aksi yang diwujudkan dan dilaksanakan untuk Gaza dan Palestina. Iya betul Jihad dan seruan Jihad harus dilakukan dan dijadikan fakta bukan sekedar fatwa. Sungguh Israel hanya bisa dilawan dengan Jihad di bawah satu komando, Jihad di bawah naungan Khilafah Islamiyyah.
Metode yang ditunjukkan dalam sejarah terbukti dapat membebaskan Baitul Maqdis yang di dalamnya termasuk Gaza dan Palestina. Metode dan jalan yang sama yang telah Nabi tunjukkan kepada para sahabat dan dibuktikan pada masa kepemimpinan Umar bin al-Khattab, Baitul Maqdis dibebaskan dari cengkeraman Romawi melalui jalan Jihad di bawah naungan Khilafah.
Hal yang sama juga diulangi pada masa Shalahuddin al-Ayyubi pada pembebasan Baitul Maqdis dari Tentara Perang Salib. Maka jalan yang harus ditempuh saat ini untuk membebaskan Gaza dan Palestina dari kejahatan Israel dan sekutunya hanya dengan Jihad di bawah satu komando yaitu di bawah Khilafah Islamiyyah.
Baitul Maqdis adalah tanah Kharajiyyah milik Umat Muslimin yang hingga akhir nanti akan tetap milik umat muslim, maka negeri-negeri kufur tidak berhak atasnya. Umat Muslim berkewajiban mengambil kembali tanah Baitul Maqdis baik secara damai (shulh) maupun secara paksa (‘unwah), jika secara damai tidak dapat dilakukan maka secara paksa menjadi sebuah kewajiban. (**)
*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Indonesia
Disclaimer :
Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan Lapan6Online.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi Lapan6Online.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.