OPINI | POLITIK
“Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya ketika ada campur tangan asing dalam setiap kebijakan, bukan tidak mungkin jika kedaulatan negeri ini tergadaikan, dan bisa saja terjual,”
Oleh : L. Nur Salamah, S.Pd,
BENAR-benar mati rasa. Ketika kami (rakyat kecil) menderita, harga bahan pokok yang semakin menyesakkan dada, gaji yang yang diterima tak seberapa, belum lagi kehilangan lapangan kerja, Engkau justru akan pindah ibu kota. Masih adakah empati tersisa?
Dengan alasan meminimalisir bencana, apakah dengan pindah ibu kota menjadi solusi nyata? Bicara masalah macet maupun banjir di Jakarta, seharusnya dicari solusinya bagaimana supaya tidak macet, bagaimana supaya tidak banjir. Coba kita lihat bagaimana Belanda membangun sebuah kota di bawah laut. Semua diusahakan dengan menggunakan berbagai macam teknologi.
Seyogyanya untuk mengatasi banjir dan macet juga diperlukan sebuah teknologi yang diupayakan secara maksimal. Namun yang dilakukan justru seolah meninggalkan masalah. Masih adakah empati tersisa?
Alasan selanjutnya untuk pemerataan ekonomi. Sepertinya benar, akan terjadi pemerataan dalam keterpurukan ekonomi. Bagaimana tidak. Pindah ibu kota memerlukan anggaran yang sangat besar. Tidak mungkin pakai dana pribadi pejabat. Menurut Bappenas, untuk pembangunan Ibu Kota Negara menyerap APBN sebesar 19,2%.
Dalam perkembangannya diwacanakan naik menjadi 53%. Meskipun itu sempat dibantah oleh mereka. Dalam situs IKN kontribusi APBN sebesar 19,4%, investasi swasta dan BUMN 26,4%. Dari KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha) sebesar 54,2%.
Berdasarkan data di atas menunjukkan sebuah perencanaan yang terkesan plin-plan seperti main-main dan tidak serius. Tidak jauh berbeda ketika menyikapi problematika yang terjadi sebelumnya. Rakyat hanya sebagai penonton dan seperti menjadi korban permainan para penguasa. Masih adakah empati tersisa?
Terlepas dari besar kecilnya anggaran yang di serap, yang jelas sumber APBN itu kalau tidak dengan utang luar negeri ya berarti dengan pajak. Kita telah ketahui bersama utang luar negeri saat ini sudah menembus hingga 6 ribu triliun lebih. Apakah mau ditambah lagi? Lantas siapa yang akan membayar utang yang menggunung tersebut? Penguasa? Jelas tidak. Kembali menjadi beban rakyat semua. Masih adakah empati tersisa?
Kemudian pajak. Belum cukup kah membuat rakyat menderita? Dengan pemindahan IKN juga akan ada wacana untuk menaikkan kembali pajak. Siapa lagi yang akan dirugikan? Mereka para penguasa? Jelas rakyat jelata. Masih adakah empati tersisa?
Dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) cepat yang dilakukan oleh pemerintah juga terungkap bahwa mega proyek IKN berpotensi menimbulkan berbagai masalah antara lain tata air, flora dan fauna serta pencemaran lingkungan. Di samping itu pihak yang terdampak hingga Sulawesi Tengah akan mengalami kerusakan lingkungan dari imbas proyek tambang. Masih adakah empati tersisa?
Dalam pembangunan IKN ini ada kontribusi swasta kurang lebih sekitar 80%. Apakah dalam bentuk APBU maupun swasta murni, yang jelas bantuan mereka tidaklah cuma-cuma. Pasti ada kepentingan di dalamnya. Apalagi kalau bukan profit.
Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya ketika ada campur tangan asing dalam setiap kebijakan, bukan tidak mungkin jika kedaulatan negeri ini tergadaikan, dan bisa saja terjual. Siapa lagi yang akan dirugikan kalau bukan rakyat. Masih adakah empati tersisa?
Beginilah model pembangunan gaya kapitalisme. Senantiasa membebani rakyat kecil. Tak akan pernah mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Hanya mengalihkan dari satu masalah ke masalah yang lain. Sudah saatnya rakyat sadar bahwa biang dari segala permasalahan saat ini karena diterapkannya sistem kapitalisme yang melahirkan para oligarki.
Sudah saatnya umat bangkit, sadar bahwa hanya Islamlah satu-satunya sistem sempurna dari yang Mahasempurna yang tak punya kepentingan dengan apapun dan siapapun di seluruh alam ini. Hanya dengan penerapan Islam secara kafah. yang akan mampu menyelesaikan berbagai problematika yang ada saat ini. Allahuakbar. [*]
*Penulis Adalah Aktivis Muslimah Batam