OPINI | POLITIK | HUKUM
“Para petinggi Polri membackingi tambang ilegal, penyelundupan barang dan orang, menerima jatah keamanan dari perusahaan-perusahaan dan kawasan hiburan yang memerlukan perlindungan – sehingga jajaran di bawahnya meniru dengan sasaran lain,”
Oleh : Dimas Supriyanto
ITIKAD baik Kapolda Metro Jaya dan jajarannya untuk menindak tegas Kasatreskrim Polres Jakarta Selatan dan timnya yang terlibat kasus pemerasan tersangka kasus pembunuhan remaja 16 tahun, layak diapresiasi.
Namun demikian, masyarakat tak boleh lengah! Sebab belajar dari kasus Sambo, beberapa rekan yang terlibat bukan masuk penjara malah dipromosikan. Sambo sendiri tak ada kejelasan apakah kini di dalam terali besi atau menikmati kebebasan entah di mana.
Bagaimana pun “esprit de corps” atau solidaritas sesama rekan seprofesi tetap mendarah daging di korps aparat, baik Polri maupun TNI.
Media memberitakan, sebanyak lima polisi, termasuk Eks Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Bintoro, menolak putusan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) atas kasus dugaan penyuapan, pada Jumat (07/02/2025). Dalam sidang KKEP itu, kelima polisi mengajukan banding dengan harapan mendapat sanksi lebih ringan dibandingkan sebelumnya.
“Atas keputusan yang telah dibacakan ini, kelima terduga pelanggar menolak dan mengajukan banding atas putusan tersebut,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi di Polda Metro Jaya, pada Senin (10/2/2025) lalu.
Dalam sidang KKEP yang digelar Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya, sebanyak tiga polisi divonis pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau dipecat dari Polri. Mereka adalah AKBP Bintoro, eks Kanit Resmob Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKP Ahmad Zakaria, dan eks Kanit PPA Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKP Mariana.
Sementara itu, dua anggota polisi dijatuhi sanksi berupa demosi selama delapan tahun dan diperintahkan untuk tidak lagi bertugas di satuan reserse.
Kedua anggota tersebut adalah eks Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Gogo Galesung dan eks Kasubnit Resmob Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan Ipda Novian Dimas. Diberitakan sebelumnya, Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya menyelidiki kasus dugaan penyuapan AKBP Bintoro dkk dari Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartoyo.
Mereka yang terlibat adalah eks Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Bintoro, eks Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Gogo Galesung, eks Kanit Resmob Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan Ahmad Zakaria, Kasubnit Resmob Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan Novian Dimas, dan eks Kanit PPA Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan Mariana.
Kasus dugaan penyuapan ini muncul ke publik setelah organisasi Indonesia Police Watch (IPW) mengeluarkan rilis tentang perkara tersebut. Rilis itu mengacu pada gugatan perdata Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartoyo di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 7 Januari 2025 terhadap AKBP Bintoro, AKP Mariana, AKP Ahmad Zakaria, Evelin Dohar Hutagalung, dan Herry.
AKBP Bintoro diduga menerima sejumlah uang dari Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartoyo untuk menghentikan kasus pembunuhan dan persetubuhan anak di bawah tahun dengan korban seorang wanita berinisial FA (16).
Setelah reformasi bergulir, Presiden Gus Dur mengemblikan TNI ke barak – hanya bertugas menjaga negara dari ancaman asing – kekuatan penegakkan hukum sipil sepenuhnya berada di tangan Polri. Jajaran polisi sangat ‘powerfull’, menentukan hitam putih hukum – atau mengolahnya jadi abu abu. Mereka bebas mengurung dan melepas seseorang dengan pasal yang dicari cari – juga memanfaatkan diskresi – hak istimewa dan khusus.
Rekening gemuk jendral polisi merupakan petunjuknya. Para petinggi Polri membackingi tambang ilegal, penyelundupan barang dan orang, menerima jatah keamanan dari perusahaan-perusahaan dan kawasan hiburan yang memerlukan perlindungan – sehingga jajaran di bawahnya meniru dengan sasaran lain, target lain.
Jabatan di kepolisian menjadi rebutan. Setiap posisi ada harganya, apalagi di wilayah “basah”. Korporasi, pabrik, kawasan hiburan adalah sumber duit, sumber pungutan, sumber kasus dan lahan pemerasan.
Pada masa kini, para penjahat pintar tidak takut dengan polisi. Mereka bisa menjadikan kawan. Karena mereka tahu polisi kita itu korup, tamak, dan hari hari makan sogokan.
Seyoganya tudingan ini untuk oknum, namun dalam perkembangan sulit membedakan antara oknum dan bukan oknum, sama sama berseragam, sama sama bersenjata sama sama bertindak atas nama hukum dan mengolah pasal pasal KUHP.
‘KOORDINASI’ adalah kode para penjahat cerdas penjahat berotak tak menghindari polisi. Justru mereka mendatangni kantor polisi menemui para komandan polisi. “Ndan, saya ada 100 ribu butir Inex mau saya sebar di wilayah Komandan. Komandan mau nitip harga apa berapa per butirnya?” begitulah gaya koordinasi bandar.
Membayangkan Rp 10 ribu kali seribu butir yang beredar per malam, jelas pemasukan menggiurkan, tanpa kerja. Cukup menutup mata, tahu sama tahu saja. Anak buah dibagi ala kadarnya.
Beragam produk haram lain juga dilakukan dengan modus yang sama. Jangan menghindari polisi, jangan ngumpet jika polisi datang, sambut mereka dengan hangat dan segera lakukan “koordinasi”. Ajak bagi hasil.
Dalam kasus pembunuhan ABG di kawasan Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu ”koordinasi” dilakukan oleh pengacara pelaku. Disepakati transfer ratusan juta dan miliaran beberapa kali ke Kasatreskrim dan timnya, berikut penjualan mobil mewah agar tidak dijadikan tersangka. Agar pelaku tetap di luar tahanan, sembari menunggu putusan.
Setelah keluar miliaran rupiah uang sogokan melalui pengacara – yang entah sampai entah tidak kepada polisi yang menangani atau masuk kantong pengacara – ternyata kasus tetap berlanjut, dan tetap diusut. Meradanglah anak pengusaha obat dan korban pemerasan polisi itu. Akhirnya buka bukaan dan terbongkarlah skandal itu.
Kasus bergulir. Polda melakukan pengusutan. Kedua pihak buka bukaan.
Kini masyarakat perlu mengawasi, apakah pemecatan sebagai polisi hanya putusan sementara, lalu kembali jadi polisi setelah banding, dimutasi ke tempat jauh, dan kemudian dipromosikan kembali setelah masyarakat lupa dan tak peduli. Atau benar benar dikeluarkan sari korps sehingga menimbulkan efek jera bagi petugas lain.
Maka, ‘Yuk, makasi; Hayuk sama sama kita awasi. (*Kop/MasTe/Lpn6)