OPINI | EKONOMI
“Seperti banyaknya kasus gagal bayar dan berujung pada bunuh diri. Meskipun akhirnya utang tersebut terbayar, namun transaksi beserta barang yang dikonsumsi akan jauh dari keberkahan dan justru menambah catatan dosa,”
Oleh : Nanda Nabila Rahmadiyanti
DAYA beli masyarakat pasca lebaran di berbagai daerah termasuk Jakarta menurut pesat. Mulai dari penurunan angka pemudik, seperti yang dikatakan oleh Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi yaitu sekitar 4,69 persen dibandingkan dengan realisasi pada 2024 yang mencapai 162,2 juta orang, tahun ini tercatat 154,6 juta jiwa.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) juga memprediksi tren pergerakan wisatawan periode libur lebaran 2025 mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya (pikiran-rakyat.com. 13/04/2025).
Tak hanya itu, momen Ramadhan dan lebaran yang biasanya menjadi waktu panen bagi para pedagang di Tanah Abang justru menyisakan kekecewaan. Menurut beberapa pedagang, penurunan daya beli masyarakat di sana mencapai 30-35 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Banyak hal yang dapat menjadi penyebabnya. Di antaranya adalah maraknya PHK imbas program efisiensi, naiknya harga-harga, beban utang meningkat, dan juga pengaruh dari lesunya ekonomi secara global.
Himpitan ekonomi membuat masyarakat memutar otak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tidak sedikit masyarakat yang memilih berutang dengan memanfaatkan paylater (pembayaran nanti) dalam belanjanya.
Apalagi belanja saat ini bisa dilakukan secara online hingga paylater dianggap memudahkan, dan terkadang menguntungkan karena dapat diskon lebih besar.
Namun sayang, mereka menganggap enteng dampak kedepannya di balik “kemudahan” itu, yaitu tanggungan utang yang harus mereka lunasi. Menurut data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Februari 2025 total utang masyarakat Indonesia lewat layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih akrab disebut paylater di sektor perbankan menyentuh angka Rp 21,98 triliun (liputan6.com. 11/04/2025).
Di sisi lain, penggunaan paylater tidak hanya sebatas kebutuhan saja. Penerapan sistem kapitalisme hari ini mengakibatkan besarnya arus budaya konsumerisme yang membawa masyarakat menuju paylater. Budaya ini membuat masyarakat berlomba-lomba untuk mengejar kebahagiaan yang bersifat jasadiah semata.
Tujuannya tidak lain untuk mendapat pengakuan di tengah masyarakat. Standar kebahagiaan mereka bergeser dan diukur berdasarakan materi. Adanya paylater makin mendorong arus konsumerisme untuk memenuhi kebahagiaan, pengakuan, dan kemudahan sesaat.
Padahal sistem berutang dengan paylater ini termasuk dalam transaksi yang berbasis ribawi, dan sudah jelas haram dalam pandangan Islam. Alih-alih sebagai solusi kesulitan ekonomi, paylater justru berpotensi menambah beban ekonomi dan masalah pada masyarakat. Seperti banyaknya kasus gagal bayar dan berujung pada bunuh diri. Meskipun akhirnya utang tersebut terbayar, namun transaksi beserta barang yang dikonsumsi akan jauh dari keberkahan dan justru menambah catatan dosa.
Lantas Bagaimana Solusinya Dalam Pandangan Islam?
Sistem sekuler kapitalisme telah meletakkan standar sosial yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Ibarat minum air laut sebanyak apapun, tetap saja tidak mampu menghilangkan dahaga. Seperti itulah gambaran manusia dalam mengejar kemewahan dunia. Dengan begitu budaya konsumerisme merajalela.
Sedangkan sistem Islam memandang bahwa generasi merupakan potensi besar dan kekuatan yang dibutuhkan umat sebagai agen perubahan. Generasi memegang peranan penting dalam menciptakan model masyarakat yang tidak hanya sibuk dengan perkara duniawi saja seperti berlomba-lomba mencapai standar kebahagiaan dengan penampilan dan materi semata.
Sistem islam akan menutup celah budaya konsumerisme, mulai dari ketaqwaan individu, yang sadar akan pertanggungjawaban penggunaan hartanya di hadapan Allah swt. Masyarakat juga akan terbentuk ketaqwaannya sehingga tidak ada yang membandingkan materi sebagai standar kebahagiaan juga kesuksesan. Karena standar bahagia yang shahih (benar) adalah mendapatkan ridha Allah swt.
Kemudian negara juga menutup platform berbasis ribawi seperti paylater maupun pinjaman online (pinjol) secara sempurna.
Negara dalam sistem islam juga wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya. Negara dapat membuka lapangan pekerjaan beserta pelatihan kerja agar kaum laki-laki bisa mencari nafkah dengan mumpuni.
Negara juga menjamin harta yang beredar adalah harta yang halal dan berkah. Jaminan kebutuhan dan kesejahteraan yang diberikan oleh negara itu pun mencapai level individu per individu.
Termasuk menjamin kecukupan harta maupun pendapatannya sehingga pembiayaan dan pengelolaan ekonomi rumah tangga mereka tidak berbasis utang. Jika ada seorang muslim sampai berutang, itu semata dalam keadaan terpaksa, bukan karena terbiasa. Islam sendiri memiliki mekanisme untuk membantunya terlepas dari utang itu, di antaranya dengan memasukkannya ke dalam kategori penerima zakat, yaitu gharim.
Semua ini akan menjadi solusi yang efektif jika islam diterapkan secara sempurna dan menyeluruh. Segala praktik ribawi akan dihapuskan dalam negara islam karena negara wajib menjaga agar rakyatnya jauh dari keharaman. Wallahu a’lam bi ash-shawwab. (**)
*Penulis Adalah Alumnus Universitas Indonesia