OPINI | POLITIK
“Dari ekononom infed mengatakan bahwa Tapera akan merugikan para pemberi kerja dan penerima kerja. Eisha menyampaikan iuran Tapera dapat memengaruhi daya beli masyarakat,”
Oleh : Ismi Balza Azizatul Hasanah,
PROGRAM pemerintah, tabungan perumahan rakyat (Tapera) seperti bola panas yang menuai hujan kritik masyarakat. Betapa tidak, pasalnya pekerja swasta dipaksa ikut menjadi peserta.
Dikutip dari intelmediaupdate.com, (30/05/2024), Tapera dibentuk sejak 2016 melalui UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Sebelumnya, hanya PNS yang diwajibkan menjadi peserta program ini, tetapi kali ini pekerja swasta dan mandiri ikut dilibatkan. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera, pemerintah menetapkan iuran sebesar 3% yang dibayarkan secara gotong royong yakni 2,5% oleh pekerja dan 0,5% oleh pemberi kerja.
Sumber lain dari liputan6.com, (28/05/2024), dana Tapera hanya dapat dimanfaatkan sebagai pembiayaan perumahan dan atau dikembalikan beserta hasil pengembangannya setelah kepesertaan berakhir.
Begitu juga Kompas.tv, (29/05/2024) memberitakan, sejumlah pekerja swasta dan pekerja mandiri atau informal menilai program Tapera akan menjadi beban baru dalam kehidupan mereka. Selama ini penghasilan mereka sangat pas-pasan, khususnya pekerja mandiri yang berpenghasilan tak pasti.
Pemerintah akan mengoperasikan program Tapera untuk pekerja mandiri atau informal selambat-lambatnya pada 2027. Itu artinya ojek online, pelaku UMKM, serta satpam lembaga swasta turut diwajibkan dalam program tersebut.
Dari ekononom infed mengatakan bahwa Tapera akan merugikan para pemberi kerja dan penerima kerja. Eisha menyampaikan iuran Tapera dapat memengaruhi daya beli masyarakat. Menurut Eisha, penurunan komsumsi masyarakat tentu memiliki implikasi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Harus diakui bahwa kewajiban Tapera akan menambah beban ekonomi masyarakat. Sebelum adanya tabungan wajib ini, sejumlah iuran seperti BPJS, Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Pajak, dan potongan lain-lain telah banyak memotong penghasilan masyarakat.
Kebijakan pemerintah ini sekilas terlihat baik, karena bisa mengatasi persoalan hunian masyarakat. Namun dengan dibatasinya peserta Tapera menunjukkan bahwa iuran wajib ini hanya bisa dimanfaatkan segelintir masyarakat. Selain itu, pencairan dana dibutuhkan waktu yang panjang, sehingga membuat pemilik tabungan sulit memanfaatkan rumah yang dimana itu merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat.
Hidup di dalam sistem Kapitalisme memang cukup sulit, rakyat harus memutar otak untuk mendapatkan panghasilan yang cukup. Apalagi sistem ekonomi Kapitalisme meniscayakan mahalnya harga kebutuhan pokok, pelayanan pendidikan, maupun kesehatan. Negara sendiri abai terhadap peran utamanya yaitu sebagai pengurus rakyat.
Terlihar dari kebijakan Tapera ini, sungguh negara menunjukkan jati dirinya hanya sebagai pihak penyedia tanpa mempedulikan apakah rakyat mampu mengakses rumah yang layak atau tidak.
Sedangkan proyek pembangunan KPR negara selalu mengandalkan swasta yang tentu akan memberikan keuntungan cukup besar bagi para pengembang.
Karena itu, kebijakan Tapera yang dipaksakan ini diduga kuat merupakan regulasi pro korporasi, karena dana yang terkumpul nantinya akan diserahkan kepada korporasi. Inilah buah dari sistem Kapitalisme yang menjadikan negara sebagai pelayan korporasi bukan pelayan rakyatnya.
Berbeda dengan penerapan sistem Islam dalam negara Islam yakni Khilafah. Khilafah menjamin terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat yang hidup di bawah sistem ini.
Dalam Islam, pemimpin diposisikan sebagai pengurus (raa’in) dan pelayan rakyat. Tugasnya yaitu mengurus seluruh urusan rakyat, bukan mengeruk keuntungan dari rakyat.
Khilafah menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warga negara Islam secara menyeluruh, mulai dari sandang, papan, dan pangan dengan mekanisme yang ditetapkan syariat.
Sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat, maka semestinya penyelenggara perumahan rakyat menjadi tanggungan negara, tanpa kompensasi berupa iuran wajib. Untuk memampukan rakyat memiliki rumah, Khilafah memastikan terbukanya lapangan kerja yang luas bagi rakyatnya.
Hanya saja tingkat pendapatan rakyat berbeda-beda sesuai kapasitasnya. Jika ada rakyat miskin yang sulit membeli rumah, maka Khilafah akan hadir sebagai penjamin pemenuhan pokok ini. Dalam menjalankan tanggung jawab ini, Khalifah tidak berperan sebagai regulator, apalagi hingga mengalihkan tanggung jawab kepada swasta atau korporasi.
Untuk pembiayaan pembangunan perumahan rakyat miskin diambil dari baitul maal yang bersifat mutlak. Sumber-sumber pemasukan dan pintu-pintu pengeluaran baitul maal sepenuhnya berdasarkan ketentuan syariat. Artinya, pemerintah tidak dibenarkan menggunakan konsep anggaran berbasis kinerja apa pun alasannya, apalagi sampai mengomersilkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok perumahan.
Khilafah tidak boleh memberikan dana pembangunan rumah rakyat miskin kepada operator property, sehingga leluasa mengomersilkan hunian yang dibangun untuk mencari keuntungan.
Khilafah bisa membangunkan rumah rakyat miskin langsung di lahan milik negara, bahkan Khilafah juga bisa memberikan lahan secara gratis kepada rakyat miskin untuk membangun rumah, selama bertujuan untuk kemaslahatan kaum Muslim. Itulah jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat terutama rumah yang dapat kita rasakan, hal itu hanya terwujud dalam Khilafah Islam. [**]
*Penulis Adalah Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta