OPINI
“Akar dari masalah ini adalah tata kelola yang lemah akibat sistem kapitalisme sekulerisme yang menjadi dasar pembangunan negeri ini,”
Oleh : Seliana
BENCANA banjir yang kembali melanda Kota Medan serta risiko longsor di jalur Medan-Berastagi mengingatkan kita pada krisis yang terus berulang.
Setiap kali bencana terjadi, respons yang muncul adalah langkah-langkah darurat seperti evakuasi, pendirian posko kesehatan, atau rencana teknis seperti pemotongan tebing.
Meski penting, langkah ini bersifat reaktif dan hanya mengatasi gejala, bukan akar masalah.
Saat hujan deras mengguyur Medan baru-baru ini, buruknya sistem drainase kembali menunjukkan kelemahannya. Genangan air cepat meluas, mengisolasi warga di beberapa wilayah.
Tim SAR Brimob dengan sigap mengevakuasi korban (Digtara.com), sementara Polrestabes Medan mendirikan posko kesehatan untuk membantu mereka yang terdampak (Digtara.com). Di sisi lain, rencana pemerintah memotong Tebing Sembahe untuk mencegah longsor adalah langkah mitigasi yang patut diapresiasi, meski belum menjamin solusi jangka Panjang (Kompas.com).
Namun, apa sebenarnya yang menjadi penyebab krisis ini? Apakah hanya sekadar faktor alam?
Nyatanya, akar dari masalah ini adalah tata kelola yang lemah akibat sistem kapitalisme sekulerisme yang menjadi dasar pembangunan negeri ini.
Sistem ini lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada keberlanjutan lingkungan. Alih fungsi hutan, buruknya pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), hingga tata kota yang tidak memprioritaskan sistem drainase adalah hasil dari orientasi materialistis tersebut.
Sistem kapitalisme ini menciptakan pembangunan yang eksploitatif dan mengabaikan keseimbangan ekologi. Lahan-lahan yang seharusnya menjadi resapan air diubah menjadi kawasan permukiman atau industri demi keuntungan cepat.
Kebijakan mitigasi yang ada sering kali tidak dilaksanakan dengan konsisten karena lemahnya komitmen politik dan tekanan dari kelompok berkepentingan. Akibatnya, bencana banjir dan longsor terus terjadi, dan rakyatlah yang selalu menjadi korban.
Lalu, adakah jalan keluar yang mampu mengatasi masalah ini secara fundamental?.
Islam menawarkan sistem pengelolaan yang menyeluruh, adil, dan selaras dengan prinsip keberlanjutan. Dalam Islam, pengelolaan sumber daya alam adalah amanah yang tidak boleh disalahgunakan. Negara bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pembangunan tidak merusak lingkungan dan semua kebijakan dilakukan demi kemaslahatan umat.
Islam juga melarang eksploitasi alam secara serakah. Dalam sistem ekonomi Islam, kekayaan didistribusikan secara adil, dan pembangunan selalu mempertimbangkan keseimbangan ekologi.
Negara Islam akan memastikan sistem drainase yang memadai, menjaga kawasan resapan air, dan melarang aktivitas yang dapat memicu longsor atau banjir.
Selain itu, Islam mendorong kesadaran kolektif masyarakat untuk menjaga lingkungan sebagai bagian dari ibadah. Edukasi, penegakan hukum yang tegas, dan penerapan teknologi mitigasi bencana menjadi satu kesatuan dalam sistem Islam yang diterapkan secara kaffah.
Krisis banjir dan longsor di Medan adalah cerminan nyata dari kegagalan sistem kapitalisme. Sudah saatnya kita meninggalkan sistem ini dan beralih kepada sistem Islam yang telah terbukti mampu menjaga keberkahan hidup manusia dan alam. Dengan Islam, kita tidak hanya mengatasi bencana secara teknis tetapi juga membangun masyarakat yang bertanggung jawab terhadap lingkungannya.
Bencana bukan takdir yang tak bisa dihindari, melainkan ujian yang dapat diminimalkan dengan penerapan solusi yang benar. Saatnya Islam menjadi solusi yang menyeluruh bagi problematika kehidupan. (**)
*Penulis Adalah Mahasiswa Pertanian Universitas Sumatera Utara.