OPINI | POLITIK
“Fenomena ini tentu membuat para ahli seperti dokter dan praktisi kesehatan lainnya menggeleng tidak percaya tetapi ketika ditanya angka cukup umur untuk menikah tentu di atas para pelajar ini,”
Oleh : Alifvia An Nidzar
NIKAH merupakan suatu momentum yang ditunggu oleh banyak orang di seluruh dunia. Mengikat tali kasih antara laki-laki dan perempuan yang telah mendapatkan restu kedua orang tua. Tentu ikatan pernikahan ini merupakan sesuatu yang sakral dan tidak bisa dipermainkan. Bahkan hanya sekadar bercandaan pun tetap dinyatakan sah hukumnya.
Momentum seperti ini ternyata dimuat dalam agama dan termasuk sunnah Rasulullah SAW. Bahkan momentum pernikahan ini sudah ada sejak zaman Nabi Adam as. Pernikahan biasanya juga identik dengan adat istiadat. Bagaikan sup tanpa garam, tidak akan terasa nikmat bila dalam suatu pernikahan tidak diiringi dengan adat istiadat serta sesajen yang dipersiapkan.
Namun, di negeri ini, pernikahan seakan dijadikan candaan dan mainan semata. Bila dahulu para siswa siswi sekolah menengah atas hanya melakukan praktik shalat jenazah maka sekarang mereka juga diharuskan melakukan praktik pernikahan yang dilakukan oleh para siswa dan siswi, parahnya ini masuk ke dalam kurikulum dan masuk penilaian.
Selain itu, ternyata saat ini marak pula dispensasi pernikahan yang terjadi pada anak-anak kalangan sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas. Tercatat, beberapa tahun ke belakang, fenomena dispensasi pernikahan ini mencapai angka yang luar biasa tinggi. Sebagaimana yang diberitakan dataindonesia.id, (13/01/2023), dispensasi pernikahan anak mencapai 50.673 kasus pada 2022. Badan Peradilan Agama melaporkan, terdapat 50.673 dispensasi perkawinan yang diputus pada 2022. Jumlah tersebut lebih rendah 17,54% dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 61.449 kasus.
Tentu maraknya dispensasi nikah ini bukan karena hasil dari praktik pernikahan semata, melainkan hasil dari seks bebas yang marak di kalangan remaja. Banyak anak-anak remaja di umur belasan tahun sudah memiliki pasangan/punya pacar. Tidak sedikit yang merasa langgeng dengan hubungannya. Bahkan ini menjadi trend, mengingat apabila seorang anak di umur belasan belum memiliki pacar dikatakan kuno dan ketinggalan zaman.
Dari hubungan inilah tidak sedikit menghasilkan kerusakan. Menurut Nurhafni pada Februari 2022, dari 405 kehamilan yang tidak direncanakan, 95% nya dilakukan oleh remaja usia 15-25 tahun. Angka kejadian aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta kasus, 1,5 juta di antaranya dilakukan oleh remaja (artikel: smakaquinasruteng.com). Data ini bukan suatu kebanggaan melainkan aib yang ada di kalangan masyarakat.
Bonus demografi memang saat ini tengah dirasakan oleh negeri ini. Namun ancaman yang melanda pun turut serta menghampiri. Bagaikan petir di siang bolong, angka dispensasi dan aborsi di negeri ini meningkat setiap tahunnya. Fenomena ini tentu membuat para ahli seperti dokter dan praktisi kesehatan lainnya menggeleng tidak percaya tetapi ketika ditanya angka cukup umur untuk menikah tentu di atas para pelajar ini.
Rentang usia di negeri ini apabila ingin melangsungkan pernikahan ialah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Tidak hanya itu, biaya pernikahan yang mahal dan harus mewah membuat banyak kalangan masyarakat tidak sanggup. Utamanya dari pihak laki-laki. Tuntutan dari keluarga perempuan membuat pihak laki-laki kepusingan. Sedangkan kondisi kebanyakan dari pihak laki-laki income yang terbatas dengan pengeluaran yang luar biasa.
Terbatasnya lapangan pekerjaan, meningkatnya angka pengangguran membuat angan-angan menikah hilang dan tidak tersentuh. Justru kebanyakan lebih suka melangsungkan hubungan semu yang dikenal dengan pacaran. Karena pada saat itu, mereka bisa bebas dan tidak terikat dengan siapa pun.
Sehingga dari sini, generasi akan rusak. Nasabnya tidak jelas dan mendatangkan murka Allah. Kemudian datang fenomena nikah muda yang ternyata dikucilkan. Dikucilkan karena usia yang belum matang, kondisi psikologi yang tidak stabil dan dikucilkan karena rentan mengalami perceraian. Banyak orang tua yang tidak setuju dengan adanya fenomena nikah muda.
Opini masyarakat memang beragam di sosial media namun kebanyakan tidak mendukung. Jelas kita membutuhkan solusi akan hal ini. UU yang ada, sejatinya tidak cukup, kita butuh lebih dari itu Peran serta orang tua, guru, masyarakat memang diperlukan namun kita butuh peran negara yang cakupannya lebih luas. Tentu ini tidak ditemukan pada kondisi hari ini. Kondisi hari ini mendewakan kebebasan, menjadikannya sebagai pedoman hidup hingga melahirkan pemisahan antara kehidupan dan agama. Alhasil, praktik nikah dibiarkan, nikah muda dikucilkan.
Maka dari itu, kita harus mengembalikan fitrah manusia yang terbatas ini. Kalau bukan dengan agama maka kehidupan ini akan hancur karena tidak ada pegangan. Kalau bukan dengan aturan Islam kita mau menggunakan aturan mana lagi agar generasi terselamatkan, agar orang tua tidak khawatir dan agar guru merasa dilindungi keberadaannya. [*]
*Penulis Adalah Mahasiswi di Depok