OPINI
“Hal ini dilihat dari kengototan pemerintah mengadakan pilkada serentak di tengah pandemi pada Desember 2020. Tak sampai disitu, masyarakat bertambah geram saat perwakilan pemangku kuasa menghadiri pernikahan selebritis di satu sisi pernikahan rakyat biasa dibubarkan dengan anarkis,”
Oleh : Dinda Fadilah
PEMBERLAKUAN Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kembali diperpanjang oleh pemerintah hingga 09 Agustus 2021. Sebelumnya PPKM Level 4 telah diterapkan selama 21-25 Juli 2021 dan diperpanjang pada 26 Juli-2 Agustus 2021.
Bahkan hingga tulisan ini kami kirimkan masih berstatus ‘diperpanjang’. Keputusan ini langsung disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (2/8/2021) melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden. PPKM level 4 ini akan berlaku di sejumlah kabupaten dan kota dan disesuaikan dengan kondisi di masing-masing daerah.
Keputusan ini menuai tanggapan yang beragam dari kalangan masyarakat. Sebagian merasa setuju dengan keputusan ini, namun tak sedikit pula masyarakat yang menolak. Sebab, PPKM menyebabkan banyak masyarakat kehilangan mata pencahariannya. Perekonomian masyarakat semakin menurun dengan distribusi bansos (bantuan sosial) yang belum merata.
Setahun lebih sudah berlalu sejak kasus Covid-19 pertama ditemukan di Indonesia. Namun hingga kini, pandemi belum kunjung usai. Total kasus positif sejak Maret 2020 ada sebanyak 3.496.700 dengan akumulasi angka kematian sebanyak 97.291 orang.
Sedangkan untuk kasus sembuh berjumlah 2.873.669. Rate positivity dan angka kematian masih tinggi. Berdasarkan data dari Kemenkes RI pada 3 Agustus terdapat 524.142 kasus aktif yang masih dalam perawatan dan jumlah kematian sebanyak 1.598 orang.
Masyarakat sudah semakin jengah dengan situasi yang terjadi hari ini. Ketidakpastian ekonomi, kekhawatiran akan pandemi yang masih terus berlangsung menambah rapor merah penanganan pandemi. Badan Pusat Statitistik (BPS) merilis data survei perilaku masyarakat terkait pemberlakuan PPKM.
Hasilnya, sebanyak 60 persen responden merasa jenuh bahkan sangat jenuh selama PPKM diberlakukan. (Liputan6.com 02/08/2021).
Kejenuhan masyarakat menimbulkan fenomena baru di tengah masyarakat. Indonesia tidak hanya mengalami pandemi tetapi juga disinfodemi yang berjangkit bersama covid-19.
Disinfodemi ini sama bahayanya dengan pandemi. Terdapat banyak sekali disinformasi yang secara sengaja disebarkan pada saat pandemi. Mulai dari konspirasi asal mula persebaran Covid-19 yang merupakan rencana elit global, cara mengobati sendiri Covid-19 dengan bahan yang mudah diperoleh, hingga ketidakpercayaan akan keberadaan virus SARS-CoV-2 ini dan menyamakannya dengan penyakit flu atau batuk biasa.
Akun-akun media sosial yang membahas teori konspirasi dan penolakan terhadap fakta Covid-19 menjadi laris manis. Persebaran hoax juga semakin meningkat. Salah satu pihak yang menjadi junjungan sebagian masyarakat adalah dr. Lois Owien yang menyatakan pernyataan kontroversi tidak percaya covid dan menyebutkan bahwa kematian yang terjadi disebabkan oleh interaksi antarobat alih-alih disebabkan oleh virus yang menjangkiti.
Pernyataan yang sangat kontroversi tersebut mengakibatkan dr. Lois ditangkap pada Minggu (11/7) meski akhirnya dibebaskan dengan bersyarat sehari setelahnya. (cnnindonesia.com 13/07/2021)
Meskipun telah dibebaskan dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya yang telah menyebarkan opini meresahkan pada publik, nyatanya pendukung dari dr. Lois masih sangat banyak. Konten-konten yang telah dibagikan oleh dr. Lois melalui media sosialnya masih banyak diyakini dan disebarkan oleh masyarakat.
Terdapat juga hoax-hoax lain yang masih beredar di dunia maya. Hal ini menunjukkan masyarakat masih banyak yang meyakini hoax yang beredar dan turut menyebarkannya. Sehingga pelanggaran terhadap protokol kesehatan masih banyak terjadi dan tingkat penolakan masyarakat terhadap vaksinasi juga masih tinggi.
Larisnya teori konspirasi dan hoax di masyarakat merupakan bagian dari fenomena public distrust. Publik mengalami ketidakpercayaan terhadap pengambil kebijakan. Masyarakat lebih memilih untuk menelan informasi via medsos yang belum tentu kebenarannya. Bahkan cenderung banyak berita hoax yang diyakini begitu saja oleh masyarakat. Berdasarkan teori kebijakan publik, dijelaskan bahwa relasi antara warga dengan pemerintah akan semakin kuat jika kebijakan yang dibuat mampu menjawab pertanyaan masyarakat pada berbagai lapisan.
Ketidakmampuan pemerintah dalam menjawab permasalahan dari rakyat mengakibatkan munculnya public distrust. Rakyat frustasi dan tidak mampu lagi untuk berpikir jernih saat menghadapi situasi yang ada hari ini. Kurangnya edukasi secara langsung kepada masyarakat juga menjadi salah satu penyebabnya.
Terdapat banyak masyarakat yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan pemahaman yang benar terkait situasi yang ada. Sementara infodemi berisi disinformasi terus membanjiri seolah menjadi angin segar yang memberi harapan baru bagi masyarakat yang sudah begitu jengah akan situasi ini. Hingga akhirnya penularan terus terjadi dan kematian terus bertambah akibat penanggulangan yang kurang tepat.
Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menangani pandemi sarat akan kompromi politik dan ekonomi dibanding kesehatan. Hal ini dilihat dari kengototan pemerintah mengadakan pilkada serentak di tengah pandemi pada Desember 2020. Tak sampai disitu, masyarakat bertambah geram saat perwakilan pemangku kuasa menghadiri pernikahan selebritis di satu sisi pernikahan rakyat biasa dibubarkan dengan anarkis. Sungguh miris.
Sementara disisi lain pelaksanaan 3T (pengetesan, pelacakan dan perawatan) masih lemah. Dilansir dari bbc.com, pakar epidemiologi Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyatakan Indonesia akan menjadi negara terakhir yang keluar dari krisis pandemi Covid-19 jika tidak ada kebijakan strategis yang luar biasa pada pemulihan kesehatan.
Pemerintah sebagai pengemban kebijakan seharusnya dapat hadir untuk menjawab keresahan rakyat akan situasi hari ini. Tidak hanya menerapkan PPKM yang belum kunjung usai hingga hari ini. Namun juga memberikan solusi dan penjaminan kebutuhan hidup atas masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya serta terdampak atas penerapan PPKM.
Selain itu dibutuhkan edukasi lebih mendalam dengan pendekatan yang tepat kepada masyarakat. Disisi lain, pemerintah juga tidak boleh tebang pilih terhadap pelanggar PPKM yang mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat. Dimana selama ini yang tampak seperti tersangka besar hanyalah rakyat kecil terhadap pelanggaran PPKM.
Dalam sistem Islam, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengurusi rakyat secara menyeluruh, termasuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Khususnya di masa pandemi seperti ini saat masyarakat mengalami kesusahan untuk dapat memenui kebutuhannya sehari-hari.
Ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah, tidak menurut saat diberi arahan, tentu tidak terjadi jika penguasa memenuhi hak rakyat khususnya di masa pandemi. Kebijakan pusat dengan daerah akan seiring dan sejalan, tidak akan ada kontradiksi di antara keduanya. Sehingga rakyat tidak akan mengalami kebingungan.
Sistem Islam akan menghimpun para penguasa yang amanah dan memiliki kemampuan mumpuni dengan karakter bervisi. Negara berada di garda terdepan dalam memainkan peran. Sehingga rakyat akan manut dengan kebijakan yang mampu mengatur mereka dengan baik. Titik ini menjadi langkah yang sangat baik dalam menyelesaikan pandemi. Adanya kepercayaan rakyat secara penuh terhadap penguasa yang menggandeng para pakar dapat menyelesaikan problematika pandemi yang ada hari ini. (*)
*Penulis Adalah Aktivis Mahasiswa USU