OPINI | POLITIK
“Mengapa kelompok dan tokoh yang tidak pernah bikin onar, tidak pernah korupsi, tidak pernah membunuh, tidak pernah mengacaukan negara, belum terbukti membahayakan negeri ini di stempel radikal?,”
Oleh : Puput Hariyani, S.Si
“SECARA agama kita tidak diperintahkan untuk menjadi seorang muslim yang radikal sebagaimana juga kita tidak diperintahkan menjadi muslim yang moderat, yang pasti kita diperintahkan untuk menjadi muslim yang bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, kemudian kita juga diperintahkan untuk menjadi muslim yang kaffah,” ucap cendekia muslim, Ismail Yusanto dalam acara catatan demokrasi dengan tema “Viral Penceramah Radikal” yang ditayangkan tvOne.
“Nah pertanyaannya, jika kita menjadi muslim yang bertakwa dengan takwa yang sebenar-benarnya dan menjadi muslim yang sungguh-sungguh kaffah, ini mau disebut apa, disebut moderat atau radikal?” Lanjut Ismail yang dikenal sebagai pendakwah karismatik, murah senyum, sederhana dalam penampilan namun tegas dalam penyampaian.
Lebih jauh pengklasifikasian penceramah radikal ini berdasarkan apa, siapa yang menggolongkan? Hal ini penting untuk dijawab, mengapa? Karena istilah radikal ini bisa berkonotasi positif begitupun sebaliknya berkonotasi negatif.
Pada masa Soekarno, istilah radikal ini berkonotasi positif, Bung Karno mengatakan bahwa untuk merdeka diperlukan partai pelopor dengan ciri radikal dinamis.
Namun hari ini istilah radikal berkonotasi negatif, disematkan kepada siapa saja yang memiliki cara pandang idealis terhadap agama. Istilah ini disinyalir justru digunakan untuk membungkam lawan politik yang kritis terhadap setiap kebijakan penguasa.
Sebagaimana diwartakan suara.com, Tenaga Ahli Utama Kantor Stat Presiden Ali Mochtar Ngabalin mengatakan peringatan Jokowi yang mengingatkan TNI dan Polri agar jangan sampai disusupi penceramah radikal dalam kegiatan beragama sudah tepat.
“Saya bilang kalau diibaratkan penyakit kanker, maka penetrasi paham-paham radikal ini diibaratkan sudah masuk pada stadium keempat, jangan keliru. Sangat kritis,” kata Ngabalin, Minggu (6/3/2022).
“Paham radikal itu dipakai oleh para ekstrimisme dan para teroris jadi mimbar-mimbar dengan trem agama dipakai untuk mengacaukan situasi politik dan situasi sosial kehidupan masyarakat.” Peringatan Jokowi kepada semua jajaran TNI dan Polri disampaikan ddi Plaza Mabes TNI, Cilangkap, Selasa (1/3/2022).
Pernyataan yang diungkap oleh petinggi negara ini menunjukkan bentuk provokasi publik agar waspada terhadap kelompok dan tokoh yang dituding radikal. Padahal jika kita cermati para tokoh yang masuk dalam daftar penceramah radikal yang terhitung lebih dari 160 nama itu adalah tokoh umat yang kritis terhadap kedzaliman, mereka yang tampil memberikan solusi bagi perbaikan kondisi negeri. Maka sangat aneh jika umat diminta untuk menjauhi mereka.
Mengapa tudingan radikal tidak diarahkan kepada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang dikabarkan melalui pemberitaan kompas.com telah menewaskan delapan orang pekerjanya saat memperbaiki tower BTS 3 di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua, pada Rabu (2/3/2022)?
Mengapa tudingan radikal tidak dialamatkan kepada Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri yang telah menembak Sunardi, seorang dokter yang diduga teroris? Ini masih terduga, mengapa siapa saja yang diduga selalu berakhir pada kematian padahal belum dibuktikan kebenaran tuduhannya di meja pengadilan?
Mengapa pihak-pihak yang menjadikan minyak goreng mahal tidak pernah disebut radikal? Padahal membuat ibu-ibu harus antri bahkan sampai ada yang harus meregang nyawa.
Mengapa kelompok dan tokoh yang tidak pernah bikin onar, tidak pernah korupsi, tidak pernah membunuh, tidak pernah mengacaukan negara, belum terbukti membahayakan negeri ini di stempel radikal? Sebaliknya kepada mereka yang teriak saya Indonesia, saya Pancasila tidak pernah mendapat julukan radikal padahal mereka yang merampok harta negeri ini?
Ataukah tudingan pemerintah kepada pihak-pihak yang dicap radikal ini karena dianggap mengganggu stabilitas kursi kekuasaan?
Jangan sampai narasi radikalisme ini justru membuat kegaduhan baru di tengah masyarakat yang sedang sekarat oleh berbagai tekanan hidup yang semakin berat. Jangan sampai pula narasi radikalisme ini hanya digunakan tameng untuk menutupi kegagalan kepemimpinan yang hendak diperpanjang. Wallahu’alam bi ash-showab. (*)
*Penulis Adalah Pendidik Generasi